Soloraya
Rabu, 23 Maret 2016 - 04:25 WIB

PERTANIAN BOYOLALI : Kesulitan Cari Buruh Tanam, Petani Boyolali Pakai Transplanter

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anggota babinsa Kodim 0724/Boyolali bersama seorang buruh tani sedang belajar menggunakan mesin rice transplanter, di salah satu sawah petani di Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, Selasa (22/3/2016). (Hijriyah Al Wakhidah/JIBI/Solopos)

Pertanian Boyolali terhambat sulitnya mencari tenaga atau buruh petani.

Solopos.com, BOYOLALI — Petani di Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak terpaksa mencari tenaga kerja pertanian hingga ke luar Boyolali. Saking sulitnya mendapatkan buruh tanam, petani harus mencari ke berbagai daerah seperti Gemolong, Sragen; Mojolaban, Sukoharjo, hingga Purwodadi.

Advertisement

Seorang petani asal Dukuh Wakis, Desa Dibal, Slamet Wiyono, 60, mengatakan di Dibal saat ini ada tiga kelompok buruh tanam yang jumlah anggotanya hanya 36 orang.

“Ini sudah berkurang banyak sekali. Saya sendiri harus cari buruh tanam sampai ke Ngesrep, Ngemplak, Teras, bahkan sampai ke Gemolong, Mojolaban, hingga Purwodadi,” kata Slamet, saat ditemui solopos.com, disela-sela pelatihan penggunaan mesin rice transplanter bersama anggota TNI Kodim 0724/Boyolali, Selasa (22/3/2016).

Advertisement

“Ini sudah berkurang banyak sekali. Saya sendiri harus cari buruh tanam sampai ke Ngesrep, Ngemplak, Teras, bahkan sampai ke Gemolong, Mojolaban, hingga Purwodadi,” kata Slamet, saat ditemui solopos.com, disela-sela pelatihan penggunaan mesin rice transplanter bersama anggota TNI Kodim 0724/Boyolali, Selasa (22/3/2016).

Untuk nilai upah buruh tanam, rata-rata mencapai Rp900.000 per kelompok. Satu kelompok buruh tanam rata-rata menyelesaikan dua patok sawah. “Itu belum biaya makan dan transportasi,” ujarnya.

Mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah membuat beban petani terkait biaya tenaga kerja bertambah. Jika menyewa buruh tanam dari Gemolong, dia harus menambah biaya transportasi hingga Rp250.000. Sedangkan mendatangkan buruh dari Teras harus menambah biaya transportasi hingga Rp150.000 dan Ngesrep senilai Rp100.000.

Advertisement

Idealnya, satu hektare sawah membutuhkan 24 orang buruh tanam. “Itu cuma buruh tanam. Kelompok buruh panen di Dibal malah sudah tidak ada.”
Budi prihatin karena saat ini minat tenaga kerja produktif ke sektor pertanian sangat minim. Di Dibal, 600-an tenaga kerja produktif memilih bekerja di pabrik. Padahal jika dihitung berdasarkan nilainya, nilai upah bagi tenaga kerja pertanian jauh lebih besar dibandingkan buruh pabrik.
Dari upah Rp900.000 per kelompok, satu buruh bisa membawa pulang upah Rp80.000 per hari kerja.

“Sementara kalau kerja di pabrik hanya Rp30.000 per hari. Jam kerjanya sama, pagi sampai sore. Hanya bedanya, kalau kerja di pabrik lebih gengsi dan ajeg,” kata Budi.

Keluarnya mesin rice transplanter, dinilai sangat membantu petani untuk mengatasi masalah krisis tenaga kerja pertanian. Sayangnya, petani belum terbiasa dengan penggunaan mesin tersebut. Dibal juga baru memiliki satu unit rice transplanter.

Advertisement

“Kalaupun sudah ada mesin transplanter tetap membutuhkan tenaga manusia karena mesin ini tidak bisa menjangkau hingga lahan di tepi galengan,” imbuh Slamet.

Terkait pelatihan penggunaan mesin rice transplanter, Kepala Staf Kodim (Kasdim) 0724/Boyolali, Mayor (Inf) Setyadi Kuncoro D., menjelaskan pelatihan ditujukan kepada seluruh anggota Babinsa. Untuk selanjutnya, Kodim Boyolali siap mengerahkan babinsa dan memanfaatkan lima unit rice transplanter bantuan dari Dinas Pertanian untuk membantu petani yang saat ini mulai kesulitan mendapatkan buruh tanam.

“Petani bisa menghubungkan babinsa kalau membutuhkan pinjaman transplanter bahkan kami siap mengerahkan babinsa untuk membantu petani,” kata Kuncoro.

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif