Kolom
Senin, 21 Maret 2016 - 09:10 WIB

GAGASAN : Dosen yang Tergugat

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Dok/JIBI/Solopos.com)

Gagasan Solopos, Jumat (18/3/2016), ditulis Aris Setiawan. Penulis adalah dosen di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Solopos.com, SOLO — Artikel Imam Subkhan berjudul Menggugat Dosen di Solopos edisi 17 Maret 2016 menarik untuk ditanggapi. Imam tampak terlalu emosional dalam menulis tanpa disertai kalkulasi dan data akurat yang dapat dipertanggungjawabkan.

Advertisement

Saya setuju sepenuhnya mutu pendidikan di negeri ini ditentukan kualitas pengajarnya, yakni guru, sementara mutu guru ditentukan ”salah satunya” oleh dosen yang mendidik mereka. Kenapa saya sebut salah satu (dalam tanda kutip)?

Perlu dipahami lebih dahulu bahwa saat seseorang menapaki jalur pendidikan tinggi sebagai mahasiswa, dengan sendirinya ia memasuki kehidupan baru yang mengandalkan ”kedewasaan” berpikir dan bersikap.

Kenapa demikian? Karena setelah seseorang menjadi mahasiswa, ia sepenuhnya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Saat tidak masuk kuliah, misalnya, dosen tidak akan mencarinya, apalagi datang ke rumah, seperti guru bimbingan konseling di SMP atau SMA.

Advertisement

Saat ia tidak lulus kuliah dan mengulang perkuliahan dengan alasan apa pun, dosen dan kampus juga tidak berhak memberikan intervensi apa pun. Sepenuhnya mahasiswa diberi pilihan dan tanggung jawab bagi kesuksesan dirinya sendiri.

Dosen dengan demikian hanya menjadi salah satu faktor dalam membentuk karakter mahasiswa di antara banyak faktor yang lain. Perkara mutu dosen yang rendah, saya sepakat perlunya peningkatan mutu dengan sertifikasi atau uji kompetensi.

Agaknya Imam tidak menyadari (tidak mengetahui?) setiap tahun uji kompetensi juga dilakukan pada dosen. Uji kompetensi dosen ini biasa disebut sertifikasi dosen. Menurut saya, prosedur yang diberlakukan pemerintah dalam sertifikasi dosen cukup berat dan menantang.

Seorang dosen dinyatakan lulus sertifikasi jika berhasil melampaui beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut di antaranya uji kompetensi bahasa Inggris, tes kemampuan dasar akademik, menuliskan deskripsi diri yang berisi program kerja, kreativitas, publikasi karya ilmiah beserta dampak dan kadar kemanfaatannya bagi kehidupan, serta masih banyak lagi.

Advertisement

Tak mengherankan kalau banyak yang tak lulus pada ujian ini dan harus mengulang setidaknya dua tahun berikutnya, begitu seterusnya. Sertifikasi dosen terbilang sangat ketat.

Apabila dalam menuliskan deskripsi diri terdapat beberapa kata atau kalimat yang sama dengan yang ditulis dosen lain, otomatis akan gagal karena dianggap menjiplak.

Tes kebahasaan dan potensi akademik dilakukan secara online pada hari dan tempat yang ditentukan pemerintah. Seorang dosen tidak dapat menyontek dosen yang lain karena setiap individu memiliki rangkaian soal tes yang berbeda atau acak.

Setiap tahun, dosen diwajibkan melaporkan capaian kinerjanya lewat sistem beban kerja dosen (BKD) beserta bukti-bukti. Jika tidak memenuhi kualifikasi atau standar (Tridharma Perguruan Tinggi) yang diterapkan, sertifikasi yang sebelumnya didapat akan dicabut.

Advertisement

Sertifikasi dosen memang tak seheboh uji kompetensi guru (UKG). Cukup disayangkan kemudian ketika Imam menganggap pemerintah hanya melangsungkan uji kompetensi pada guru, bukan pada dosen.

Hal tersebut tampak pada substansi kalimat dalam artikelnya: saya membayangkan seandainya pemerintah menyelenggarakan uji kompetensi untuk para dosen, bisa jadi hasilnya semakin parah ketimbang guru. Sayangnya, pemerintah baru menyelenggarakan uji kompetensi guru yang digelar secara rutin setiap tahun.

Dari kalimat tersebut kita bisa menilai penulis tampak serampangan dan tidak mengetahui peta persoalan yang ditulis. Imam adalah mahasiswa Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS). Idealnya dia lebih mengerti dan memahami masalah pendidikan di negeri ini dengan lebih jernih dan bijak.

Ia dapat saja melakukan penelitian kecil, membuka catatan, dan membaca beberapa referensi agar pendapat (apalagi berhubungan dengan kalkulasi dan data) yang dikemukakan akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. [Baca selanjutnya: Guru]Guru

Advertisement

Tidak semua lulusan perguruan tinggi menjadi guru, tentu saja sesuai dengan bidang dan jurusan. Mahasiswa di Institut Seni Indonesia (ISI), misalnya, dididik menjadi seniman dan kritikus seni.

Fakultas Teknik yang mencetak calon-calon insinyur. Fakultas Kedokteran yang melahirkan calon-calon dokter. Artinya, kita tidak dapat menggeneralisasi mutu guru sepenuhnya ditentukan oleh dosen, apalagi tidak ada batasan dosen apa dan bidang apa.

Idealnya artikel Imam ditujukan kepada kampus atau fakultas yang memiliki program pendidikan guru seperti Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), bukan menyasar semua dosen.

Faktual memang banyak dijumpai guru yang belum memiliki kompetensi mengajar dengan baik, terlebih di sekolah-sekolah tertentu seperti sekolah kejuruan. Di sekolah seni setingkat SMK, misalnya, banyak guru lulusan perguruan tinggi berbasis pendidikan yang tak memiliki bekal mumpuni mengajar seni.

Syarat menjadi guru adalah lulusan jurusan pendidikan di FKIP atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Ini menyebabkan kampus di luar itu tak memiliki “kuasa” mendidik calon guru ideal di bidangnya.

Contoh kasus yang menarik adalah di SMKN 12 Surabaya. Jurusan Seni Pertunjukan, terutama karawitan (gamelan), saat ini hanya diampu dua guru resmi berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang mengajar karawitan, sementara jumlah siswa dalam satu angkatan  ratusan orang.

Advertisement

Untuk melengkapi kebutuhan pengajar, sekolah itu mengontrak seniman-seniman lulusan perguruan tinggi seni semacam ISI. Ironisnya, para seniman itu selamanya akan tetap menjadi pegawai kontrak karena tak memiliki ijazah kependidikan.

FKIP di Surabaya (Universitas Negeri Surabaya atau Unesa), dan FKIP di wilayah lain, hanya menyediakan lulusan dari Jurusan Musik (bukan karawitan). Idealnya untuk sekolah kejuruan, misalnya seni, guru yang direkrut atau didatangkan adalah lulusan perguruan tinggi seni.

Sekolah kejuruan berusaha mencetak lulusan yang dapat langsung bekerja di bidangnya. Sekolah demikian ini tentu butuh guru yang kompeten dan kredibel. Hal ini berbeda dengan sekolah setingkat SMA yang berbasis umum. Dengan penjelasan tersebut, kiranya problem guru sangatlah kompleks.

Problem keguruan tak seharusnya ditimpakan sepenuhnya kepada dosen, namun juga pada banyak faktor lain, terutama pada pemegang otoritas kebijakan. Sekali lagi, saya sepakat kemampuan dosen perlu ditingkatkan dan senantiasa diasah, namun menyalahkan dosen atas mutu guru di negeri ini kiranya bukan suatu pernyataan yang bijak.

Imam dapat menanyakan kepada dosen yang mengajarnya, apakah telah lulus sertifikasi atau belum? Sekiranya hal itu kurang etis, tentunya cara mengajar dan menyikapi persoalan di kelas dapat digunakan sebagai tolok ukur dan sekaligus menilai bagaimana mutu dosen itu.

Perlu diketahui, banyak dosen tersertifikasi namun tak memiliki tanggung jawab akademik. Mereka jamak hanya mementingkan proyek dan bisnis sampingan. Banyak pula dosen yang belum tersertifikasi justru memiliki tanggung jawab besar dan tulus kepada para mahasiswa.

Artinya, sebagaimana UKG pada guru, program sertifikasi dosen juga tak sepenuhnya dapat digunakan sebagai pegangan atau bahkan parameter utama dalam menilai kualitas seorang dosen.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif