Soloraya
Kamis, 17 Maret 2016 - 11:25 WIB

PUPUK BERSUBSIDI SRAGEN : Tak Tertib Administrasi, 38 Pengecer Dicoret

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pupuk bersubsidi (JIBI/Solopos/Dok.)

Distribusi pupuk bersubsidi harus dilakukan sesuai aturan.

Solopos.com, SRAGEN — Dinas Perdagangan (Disdag) Sragen mencatat ada 38 nama pengecer yang dicoret dari daftar pengecer resmi pupuk bersubsidi tahun 2016. Puluhan nama pengecer tersebut terpaksa tak bisa berjualan pupuk bersubsidi karena tidak tertib administrasi dan berpotensi menimbulkan temuan saat pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Advertisement

Data tersebut disampaikan Kasi Pembinaan Distribusi Disdag Sragen, Joko Suranto, dalam paparannya terkait karut-marut peredaran pupuk bersubsidi di Bumi Sukowati, Rabu (16/3/2016). Joko mencatat ada 458 pengecer di Sragen, sebanyak 38 pengecer di antaranya dilarang jualan pupuk bersubsidi. Pengecer resmi pupuk bersubsidi di Sragen, kata dia, tinggal 420 pengecer yang menyebar di 205 desa/kelurahan di Sragen.

“Setelah adanya temuan BPK pada pemeriksaan 2015, ke depan distributor pupuk harus mengetatkan disiplin para pengecer. Pengecer yang tidak tertip dipecat. Pengecer yang menyepelekan SPJB [surat perjanjian jual beli] juga dipecat. Data di kami sudah 38 pengecer yang dipecat. Data itu bisa saja naik,” kata Joko saat ditemui wartawan di kompleks Sekretariat Daerah (Setda) Sragen, Rabu siang.

Advertisement

“Setelah adanya temuan BPK pada pemeriksaan 2015, ke depan distributor pupuk harus mengetatkan disiplin para pengecer. Pengecer yang tidak tertip dipecat. Pengecer yang menyepelekan SPJB [surat perjanjian jual beli] juga dipecat. Data di kami sudah 38 pengecer yang dipecat. Data itu bisa saja naik,” kata Joko saat ditemui wartawan di kompleks Sekretariat Daerah (Setda) Sragen, Rabu siang.

Dia mengingatkan pengecer atau pemilik kios pupuk yang seenaknya sendiri lebih baik dilarang berjualan pupuk bersubsidi daripada menumbulkan persoalan belakangan. Dia menilai distributor sudah maksimal membina mereka. Joko menyontohkan kasus ketidaktertiban administrasi terutama berkaitan dengan laporan finansial.

“BPK kan bisa ambil sampel seenaknya. Kalau yang diambil pengecer yang tidak tertib akan jadi temuan lagi. Kalau pelaporan tidak tertib maka bisa dipastikan ada indikasi tidak tepat sasaran. Rata-rata mereka memang sudah tua-tua dan tak bisa menyesuaikan perkembangan teknologi. Sebenarnya kan bisa dimintakan bantuan anaknya. Ya, tinggal kemauan mereka saja,” tutur dia.

Advertisement

Dia menilai SIMP yang dirintins Gubernur Jawa Tengah itu justru menyulitkan petani karena harus mengakses perbankan dulu baru bisa mendapatkan pupuk.

“Selain itu, kuota pupuk yang dibatasi per hektare juga membuat masalah baru. Petani yang memiliki lahan sawah satu hektare itu bisa dihitung jari tangan.

Kebanyakan petani memiliki lahan sawah minimal satu patok. Kebutuhan pupuk urea hanya 95 kg per patok, ZA hanya 85 kg per patok sedangkan ukuran saknya 50 kg per sak. Bagaimana petani bisa beli bila pengecer tidak boleh memecah pupuk itu. Dampaknya banyak petani yang tidak dapat pupuk sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Advertisement

Atas dasar itulah, Suratno meminta pemerintah jangan menyalahkan munculnya pupuk nonsubsidi yang dibeli petani dan memberi kebebasan bagi pengecer untuk menjual pupuk nonsubsidi. Aturan itu justru menyulitkan petani dan pengecer.

Joko Suranto pun tak bisa menjawab pertanyaan Suratno. Persoalan itu sudah pernah disampaikan Joko ke forum perdagangan tingkat provinsi tetapi juga tak ada solusi yang berarti.

 

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif