Angkringan
Senin, 14 Maret 2016 - 19:32 WIB

ANGKRINGAN : Sarkem dan Kalijodo

Redaksi Solopos.com  /  Sumadiyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lahyanto Nadie

“Dul, ke Sarkem yuk,” ajak Daeng kepada sahabatnya yang sedang menikmati kopi panas di Angkringan Pakde Harjo. Dul tidak menolak dan tidak juga mengiyakan ajakan rekannya itu. Sambil tersenyum, ia menoleh ke rekannya, Sutan dan Joko. Joko, sebagai penduduk asli Ngayogkarta Hadiningrat, sangat faham tentang kisah dan sejarah Sarkem.
“Berapa kali kamu ke sana Daeng?’ Tanya Joko penasaran.
“Lha, sering, wong lokasinya strategis,” jawab Daeng sekenanya.
Daeng sering melakukan penelitian dalam banyak hal, termasuk penyakit sosial masyarakat. Di dalamnya tentu saja ada prostitusi, konon bisnis yang paling tua usianya.
Ajakan Daeng tersebut terkait dengan makin ramainya isu prostitusi di Jogjakarta seiring dengan rencana penutupan lokalisasi Sarkem, akronim dari Pasar Kembang.
Ternyata Daeng tidak hanya fasih bercerita tentang Sarkem, ia juga mengungkap bagaimana Dolly di Surabaya, Saritem di Bandung, hingga Kramat Tunggak di Jakarta. Tentu saja, yang paling anyar dan heboh adalah Kalijodo, juga di Jakarta.
“Nah kalau soal Kalijodo, tentu Dul yang paling faham,” sambung Sutan.
Dul tersenyum menyambut celoteh Sutan. Anak Betawi itu lalu bercerita tentang tempat prostisusi yang pekan lalu sudah rata dengan tanah.
“Kalijodo memiliki nilai historis perkembangan kota Jakarta,” kata Dul.
“Historis bagaimana?” sodok Joko penasaran.
“Sebagai lokasi sentra ekonomi yang menghidupkan Jakarta. Sepanjang yang saya dengar cerita dari para orang tua dan literatur yang saya pelajari, Kalijodo merupakan tempat persinggahan etnis Tionghoa yang mencari gundik atau selir,” Dul lebih merinci.
Daeng makin penasaran. “Lanjutanya bagaimana?”
“Saat itu, Batavia sekitar 1600-an di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindiche Compagnie [VOC], mayoritas pendudukan merupakan etnis Tionghoa. Di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, VOC melakukan survei yang hasilnya cukup mengejutkan.”
“Kok mengejutkan?” sambung Daeng makin penasaran sambil menggeser tempat duduknya.
“Ternyata mayoritas masyarakat Batavia ketika itu merupakan etnis Tionghoa, bukan pribumi. Mereka merupakan orang-orang yang melarikan diri dari Mansuria yang ketika itu sedang mengalami perang. Tentu saja mereka ke Batavia tidak membawa istri sehingga mencari gundik untuk memenuhi hasrat seksual mereka,” Dul makin merinci.
Sutan yang sejak tadi menyimak, sambil membetulkan kaca matanya ikut nimbrung. “Saya juga pernah dengar bahwa dalam proses pencarian gundik itu, etnis Tionghoa kerap bertemu di kawasan sungai. Tempat yang dijadikan pertemuan pencarian jodoh itulah kemudiann dinamakan Kalijodo. Bukan begitu Dul?”
Dul mengiyakan. Ia lalu menjelaskan bahwa dalam novel Cau Bau Kan karya Remy Sylado dijelaskan proses transaksi dilakukan di atas perahu yang tertambat di pinggir kali. Biasanya para gadis menarik perhatian pria etnis Tionghoa dengan menyanyikan lagu-lagu klasik negeri yang pernah dijuliki Tirai Bambu itu.
“Jadi kisah transaksi seksual itu sudah tua sekali dan banyak berlaku di seluruh dunia. Di Jepang, misalnya, dikenal dengan istilah geisha,” Dul menerangkan lagi.
Kini giliran Joko yang penasaran. “Lalu kenapa baru sekarang diributkan?”
“Sebenarnya rencana penghapusan tempat maksiat itu sejak 2010 ketika Jakarta dipimpin oleh Fauzi Bowo. Sang gubernur yang biasa dipanggil Bang Foke, sudah menyiapkan program itu dan dilakukan secara persuasif. Namun peristiwa tabrakan maut yang menewaskan pengendara sepeda motor oleh orang yang mabuk sepulang dari Kalijodo membuat Ahok, panggilan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, berang. Dari situlah dimulai pembersihan Kalijodo yang sekarang sudah rata dengan tanah,” Dul panjang lebar berkisah.
Sutan, Daeng dan Joko manggut-manggut. Sutan lalu menyeruput kopinya.
Obrolan empat sekawan masih dilanjutkan sekitar prostitusi. Kini giliran Joko yang bercerita mengenai Sarkem.
“Pasar Kembang sering juga disebut Gang III karena wilayah Sarkem adalah gang ketiga dari arah timur Jalan Pasar Kembang,” kata Joko datar.
Sarkem sebagai lokasi prostitusi di Jogja, telah ada sekitar 125 tahun yang lalu sehingga memiliki nilai historis yang memperkaya sejarah. “Wilayah ini sengaja dirancang untuk lokasi ‘jajan’ bagi para pekerja pada zaman Belanda yang ketika itu sedang berlangsung pembangunan rel kereta api yang menghubungkan kota Jogja dan kota-kota lain. Belanda sengaja membangun sarana prostitusi agar gaji para pekerja kembali menjadi pendapatan pemerintah.”
Daeng memotong cerita Joko. “Ketika sudah merdeka memang tidak ada upaya menutup lokalisasi itu?”
Dengan tenang Joko melanjutkan ceritanya. “Sebenarnya setelah zaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia berupaya mendidik para pekerja seks komersial itu dengan memberikan pelatihan keterampilan. Namun gagal. Lokalisasi itu sulit sekali dihapuskan karena kenyataannya memberikan dampak ekonomi yaitu menjadi mata rantai pencaharian bagi warga sekitarnya. Warga kemudian membangun hotel, rumah makan, dan warung sebagai penunjang kehidupan mereka.”
Daeng mengamini apa yang dikatakan Joko. “Betul itu, lokasinya juga strategis, dekat dengan pusat kota terutama kawasan Malioboro yang menjadi daya tarik wisatawan dan ikon Jogjakarta.”
Dul sepakat dengan rekan-rekannya. “Begitulah, lokasasi selalu ada di mana-mana. Ia menjadi bagian dari shadow economy.”
“Apa pula itu shadow economy?” Daeng kembali penasaran.
Dul menjelaskan bahwa shadow economy adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja. Itulah sebabnya orang-rang juga menyebutkan sebagai black market, underground economy. Dalam bisnis itu juga termasuk perdagangan obat-obatan terlarang, narkoba, judi, termasuk prostitusi tentunya.”
“Dalam ekonomi modern shadow economy bisa mencakup pencucian uang, perdagangan senjata, transportasi, properti, minyak bumi, valas, pasar modal, ritel, teknologi mutakhir, hingga penemuan medis yang tidak ternilai dan semuanya dikendalikan oleh institusi ekonomi pasar gelap. Mereka tidak dikenali oleh masyarakat, tidak terdaftar di pemerintah, dan jelas tidak diliput oleh media massa,” kata Dul dengan mimik serius.
“Jadi lingkaran setan ya,” Sutan menyambung.
“ Ya begitulah, duit setan dimakan iblis,” Daeng ikut nyerocos.
Obrolan seputar dunia prostitusi tak habis-habisnya dibahas. Menjelang larut malam, Joko kali ini tampil lebih bijak. “Kini Sarkem kembali diributkan setelah Kalijodo ditutup. Dolly, Kramat Tunggak, hingga Sarimen sekarang tinggal kenangan, mengapa Sarkem tidak bisa? Wisatawan Jogja nantinya bisa melihat Sarkem sebagai historis bukan lagi lokalisasi prostitusi. Begitu kan?”
“Bukaaan….” ketiga rekannya pun terbahak sambil balik kanan bubar jalan…

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif