Kolom
Senin, 7 Maret 2016 - 09:15 WIB

GAGASAN : Kabinet di Era Media Sosial

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhajir Arrosyid (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (5/3/2016), ditulis Muhajir Arrosyid. Penulis adalah dosen di Universitas PGRI Kota Semarang dan tinggal di Demak, Jawa Tengah.

Solopos.com, SOLO — Bisa saja kabinet kita ibaratkan sebagai keluarga, orkestra, atau pasukan perang. Sebagai keluarga tak elok urusan dapur semacam beras habis, silang pendapat tentang masakan, apalagi masalah ranjang terdengar oleh tetangga..

Advertisement

Jika diibaratkan sebagai orchestra, kabinet harus seirama mengikuti aba-aba seorang dirigen atau konduktor. Pemain biola tidak holeh main seenaknya sendiri bertabrakan dengan suara trompet atau piano. Kasihan telinga pendengar.

Lebih gawat lagi jika kabinet diibaratkan sebagai pasukan perang. Kita saat ini secara fisik memang tidak dalam keadaan berperang. Peperangan pada masa kini bukanlah angkat senjata. Peperangan antarnegara adalah pertarungan ekonomi.

Advertisement

Lebih gawat lagi jika kabinet diibaratkan sebagai pasukan perang. Kita saat ini secara fisik memang tidak dalam keadaan berperang. Peperangan pada masa kini bukanlah angkat senjata. Peperangan antarnegara adalah pertarungan ekonomi.

Menang dan kalah atas peperangan ini gampang sekali terlihat dari posisi kebanyakan orang Indonesia di kancah industri di dalam negeri maupun luar negeri. Mereka menjadi buruh yang posisinya rentan diombang-ambingkan. Mereka bukan penguasa modal.

Kabinet adalah sepasukan perang untuk memenangi persaingan dengan negara lain. Kita yang di bawah (baca: rakyat) adalah pion-pion yang siap digerakkan. Presiden adalah panglima perang, menteri-menteri adalah kepala-kepala regu.

Advertisement

Akankah pasukan perang yang demikian akan menang? Hal inilah yang segera harus dicarikan solusi jika kita ingin memenangi pertarungan. Sekarang ini urusan ”ranjang” kabinet itu terdengar sampai telinga tetangga melalui media sosial.

Sebuah masalah yang selayaknya dibicarakan dengan suara lirih di ruang tidur, atau sambil santai di ruang makan, malah diumbar di ruang publik. Pertengakaran termutakhir antarkepala regu pasukan perang ini terjadi antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Rizal Ramli soal proyek listrik 35 Megawatt pada Agustus 2015.

Perselisihan antara keduanya mengemuka lagi pada Oktober 2015. Kali ini tentang perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Terakhir, pada Februari 2016 lalu, mereka silang pendapat terkait blok gas Masela. Tidak hanya dua pasang menteri ini yang saling adu argumentasi ruang publik media sosial, tetapi juga para menteri yang lain.

Advertisement

Salah satu contoh ”pertengkaran” di media sosial yang dilakukan antara dua menteri ini terjadi pada Sabtu, 27 Februari 2015. Sudirman Said melalui siaran persnya menyatakan ”yang pura-pura berjuang untuk rakyat, yang menipu, yang suka mengklaim paling tahu, yang mau coba mengganti investor Masela, berhentilah membohongi rakyat karena suatu saat akan terbongkar niat busukmu.”

Selang dua hari kemudian Rizal Ramli membalas sindiran Sudirman dengan mengunggah meme di Twitter yang dengan jelas menampilkan foto Sudirman dengan tulisan ”Walah walah kok sibuk analisa kelakuan sendiri, lucu deh.” [Baca selanjutnya: Citra Diri]Citra Diri

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mengapa menggunakan media sosial? Mengapa mereka tidak secara jantan bertelepon atau bertemu di warung kopi untuk menyelesaikan masalah? Mengapa rasan-rasan tingkat negara ini mengemuka di ruang publik?

Advertisement

Inilah yang patut dipertanyakan sekaligus dikaji. Karateristik media sosial adalah membagikan, berkomentar, memberikan tanda ”suka”. Saya menuduh (baca: bukan sekadar menduga) hal inilah yang mendorong para menteri ini saling sindir di media sosial.

Mereka ingin mendapat sebanyak-banyaknya tanda “suka”, status mereka di “bagikan”, dan direspons melalui “komentar”. Yang diharapkan adalah dukungan publik. Di era digital ini dukungan publik memang dapat dilihat dari respons masyarakat terhadap suatu kasus.

Publik atau dalam permainan catur disebut pion-pion itu bukan diajak perang melawan musuh tetapi malah diajak berperang menjadi suporter para menteri yang sedang bertengkar tersebut. Bentuk dukungan hadir melalui komentar-komentar atas berita-berita daring atau status yang diunggah para menteri tersebut.

Hal akhir yang ingin dicapai dari saling tuduh di media sosial itu adalah terbangunnya citra diri para menteri bahwa mereka yang paling membela rakyat, mengedepankan kepentingan rakyat, dibanding menteri yang lain yang dituduh bodoh, berakal bulus, penipu, tidak berprestasi, dan lain-lain.

Citra diri itu untuk tabungan pada proses politik di masa depan. Jika menteri mementingkan diri sendiri, tentu tidak layak dimasukkan dalam barisan perang. Mereka hanya merepotkan saja dan bisa mengakibatkan kekalahan.

Anggota tubuh kita saja jika mengancam keselamatan anggota tubuh yang lain terpaksa harus diamputasi. Jika suami istri bertengkar terus-menerus dan tidak bisa dirukunkan, ya bercerai saja. Apalagi ini ”cuma” menteri yang berdasar wewenang presiden bisa diganti kapan saja, calon penggantinya banyak kok.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif