Kolom
Jumat, 4 Maret 2016 - 09:10 WIB

GAGASAN : Media Sosial untuk Pemimpin

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M.Fauzi Sukri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (3/3/2016), ditulis M. Fauzi Sukri. Penulis adalah koordinator tadarus buku di Bilik Literasi Solo.

Solopos.com, SOLO — Person of the Year 2007: You. Yes, you. You control the Information Age. Welcome to your world. Begitulah kalimat di sampul muka Majalah Time edisi khusus person of the year yang terbit pada Januari 2007.

Advertisement

Anda semua, para pengguna media sosial, terpilih sebagai manusia pilihan Majalah Time, manusia yang bakal dan bisa mengubah kehidupan sosial manusia. Bukan satu persona, tokoh, atau suatu institusi, tapi para pengguna media sosial yang diberdayakan oleh teknologi digital Internet.

Memang terkesan dan terdengar begitu optimistis terhadap peran media sosial (social media) yang begitu menghebat perkembangannya dan begitu juga pengaruhnya dalam dan terhadap kehidupan mutakhir manusia.

Ketika melihatnya dari jarak termutakhir, semua ini semakin menguatkan dan membenarkan pilihan Majalah Time. Sekarang Indonesia adalah pengguna media sosial terbanyak keempat di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Advertisement

Tak perlu heran jika bos Facebook Mark Zuckerberg mengunjungi Jakarta pada 2014 dan bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahkan merasa perlu merasakan nuansa blusakan. Jokowi membalas mengunjungi Zuckerberg di Kantor Facebook di Silicon Valley, Amerika Serikat, pada Februari yang lalu.

Tentu saja kita tahu Jokowi juga semacam merasa perlu berterima kasih kepada media (digital) sosial yang telah memopulerkan laku politiknya, selain melakukan kerja sama ekonomi.

Kita bakal semakin jelas dan harus mengatakan bahwa perilaku politikus, baik buruknya, bakal semakin akrab di media sosial. Meski kehidupan sosial kita di abad ke-21 semakin terkonvergensi dalam media sosial, ternyata kita masih sedikit telat.

Begitulah kita mendapati berita menarik bahwa warga Sukoharjo meminta Bupati Wardoyo Wijaya agar membuat akun resmi di media sosial seperti Facebook atau Twitter (Solopos, 26 Februari 2016).

Advertisement

Permintaan ini mulai menjadi kewajaran dalam kehidupan politik secara global, termasuk di Sukoharjo, Jawa Tengah, Indonesia. Banyak pemimpin dunia memiliki akun resmi di media sosial sebagai sarana komunikasi politik mereka.

Secara politis, kita bisa mengatakan komunikasi politik seorang pemimpin dinilai bukan hanya saat berkomunikasi dalam memperebutkan jabatan untuk berkuasa. Komunikasi pada tahap ini sungguh sering sangat manipulatif, penuh bujuk rayu yang membuai, dan sering tidak tulus.

Pemimpin yang baik dapat dinilai melalui komunikasi politik justru saat mereka berkuasa. Meski sudah mulai terdengar klise, komunikasi politik Jokowi selama memimpin Kota Solo, khususnya jika melihat pada periode pertama kepemimpinannya, adalah contoh yang baik.

Jokowi tidak mempunyai retorika tekstual yang mumpuni, indah, apalagi bisa membuat rakyat Solo terpesona. Komunikasi politik Jokowi yang paling fasih justru terdengar dalam tindakan politiknya dan menggema keras di media sosial.

Advertisement

Semua yang dilakukan Jokowi hampir bersamaan dengan perkembangan pesat media (digital) sosial dalam kehidupan kita. Jokowi sangat menyadari peran signifikan media sosial. [Baca selanjutnya: Masyarakat Jaringan]Masyarakat Jaringan

Barangkali tak terpikirkan dan tak terbayangkan sebelumnya bahwa manusia di abad ke-21 mendapati diri mereka berjaringan dalam media sosial yang diperantarai teknologi Internet.

Gerak kehidupan sosial kita memang begitu berakar dalam jaringan bermasyarakat. Tentu peran media dalam berbagai bentuknya mempunyai peranan yang begitu kuat, mulai yang bersifat biologis seperti mulut sampai yang teknologis seperti media sosial.

Tak pernah ada manusia yang terlepas dari jaring komunikasi. Sebagian besar warga dunia terkena dampak komunikasi media sosial, baik pada tingkatan yang minimal atau akhirnya bahkan sampai para taraf sangat membutuhkan.

Advertisement

Apa yang kita alami dalam lanskap sosial yang baru ini oleh Manuel Castells (1996) disebut sebagai ”masyarakat jaringan” (network society). Dalam masyarakat jaringan ini kita mendapati diri kita dalam suatu sistem yang saling terkait, saling bertukar data secara selektif, dan dengan tujuan tertentu.

Banyak bagian kehidupan sosial kita mulai dan bahkan sudah terhubung dengan media sosial, apa pun kritik yang diajukan pada media sosial. Ada yang mengkritik, waspada, tapi sebagian besar masyarakat antusias, menikmati, dan bahkan hidup dalam media sosial dengan berbagai kepentingan masing-masing.

Akibat politis yang mulai muncul adalah kita mulai menyaksikan bahwa jaringan meruntuhkan pemusatan kekuasaan dan hierarki yang terlembaga (Ibrahim dan Akhmad, 2014: 102). Kita mulai menyaksikan berbagai gerakan sosial politik yang menggunakan jaringan media sosial (Internet) sebagai media alternatif yang cukup berhasil.

Ini bisa kita lihat dari gerakan penyelamatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, sampai gerakan menegur operator telepon seluler yang curang dan sebagainya. Cukup banyak gerakan berbasis media sosial yang menghasilkan perubahan kebijakan yang drastis tanpa melalui birokrasi politik yang rumit dan ribet.

Gerakan ini seakan-akan berkehendak melampaui jalur-jalur birokrasi yang sungguh keterlaluan sering begitu lambat dan banyak: penuh dengan jajaran meja dan kursi yang bertingkat-tingkat, dari tingkat kelurahan sampai tingkat kepresidenan.

Tentu saja semua ini pemborosan waktu, pemborosan biaya, dan khususnya pemborosan emosi manusia karena pelayanan birokrasi yang sering menjengkelkan. Dengan kehadiran media sosial, tiba-tiba kita seperti dimasukkan dalam suatu lorong bersama berkecepatan tinggi, menerobos batas-batas, dan memohon sangat pada keringkasan, juga keterbukaan.

Advertisement

Dalam arus jaringan politik media sosial, kekuasaan tak boleh sakral, tak boleh suka berlambat-lambat karena merasa dirinyalah yang sangat terpenting, tak boleh mengagungkan penghambaan hierarkis yang tak praktis dan tak efisien.

Kita tidak membutuhkan semua itu. Tentu saja umat media sosial masih butuh birokrasi dan negara, tapi bukan yang bertele-tele, namun yang lebih akrab, cepat, dan dekat.

Di sinilah masalah media sosial bagi para pemimpin kita, khususnya yang baru saja dilantik secara resmi—para gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota.

Tampaknya para pemimpin kita itu masih terkesan berkehendak menjadikan kekuasaan yang diamanatkan rakyat sebagai kekuasaan yang agung tak tersentuh rakyat, tinggi di langit, dan sebab itu terlihat kurang akrab, kurang dekat, dan tidak cepat bertindak demi kepentingan publik.

Semua ini sedikit banyak ”melanggar” tata bermasyarakat di media sosial. Sekali lagi, kita membutuhkan roh kepemimpinan yang lebih akrab, cepat, dan dekat, yang sedikit banyak bisa meringkas ruang dan waktu birokrasi.

Kita tak merasa antara para pemimpin dan kita terjadi gap teknologi: para pemimpin gagap teknologi media sosial dan rakyat begitu hidup dalam media sosial. Sesuatu yang tak terjembatani. Tidak. Saya yakin para pemimpin kita sudah cukup gaul dengan teknologi media sosial.

Pemimpin yang berkehendak merangkul harapan-harapan publik dan bersungguh-sungguh mau mewujudkannya harus akrab dengan masyarakat, salah satunya melalui media sosial. Tidak ada salahnya menjadikan media sosial sebagai forum publik baru.

Toh, kita tahu rakyat dan pemimpin tidak mungkin setiap hari bisa bertemu secara ragawi, untuk ngrembug pembangunan kota atau desa, berkeluh kesah tentang pelayanan publik, atau saling membagi pertolongan dengan cepat.

Kita dan para pemimpin sungguh tidak mau dan malu jika sampai harus semacam melakukan demonstrasi tapa pepe di alun-alun demi forum publik di zaman digital.

Semua bisa diselesaikan dengan media sosial, meski tentu kita yakin tubuh manusia adalah medium tercanggih tak tergantikan. Rakyat dan pemimpin bisa saling berjaringan di media sosial.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif