Kolom
Jumat, 4 Maret 2016 - 04:15 WIB

GAGASAN : Kebanggaan Eksklusif

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Kristianto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (2/3/2016), ditulis Agus Kristiyanto. Penulis adalah Guru Besar Bidang Analisis Kebijakan Pembangunan Keolahragaan Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Kebanggaan besar pasti tersirat nyata pada sebagain besar masyarakat kita, terlebih lagi masyarakat Soloraya, manakala Rio Haryanto dipastikan berkesempatan menjadi orang pertama Indonesia yang mengikuti seri balap mobil supercepat Formula One (F1) 2016.

Advertisement

Ini merupakan kejutan bagi masyarakat Indonesia, terutama saat prestasi olahraga secara umum belum optimal. Kebanggaan itu belum utuh.  Hingga esai ini ditulis, Rio yang berusia 23 tahun itu masih membutuhkan Rp150 miliar. Manajemen Rio baru menyetor uang muka Rp45 miliar. Rio sebagai pay driver berkewajiban membayar 15 juta euro (Rp225 miliar) kepada manajemen Manor Racing untuk bisa tampil semusim penuh.

Ini memang dana yang cukup fantastis untuk misi kompetisi perorangan. Konon Pertamina berkontribusi Rp74 miliar untuk mendukung Rio. Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pasti tidak tinggal diam. Dukungan dana Rp100 miliar akan dicairkan oleh Menpora Imam Nahrawi untuk mendukung Rio di arena balap mobil bergengsi Formula One.

Dana tersebut belum bisa dipastikan karena pencairannya masih menjadi perdebatan alot di Komisi X DPR. Belum ada persetujuan resmi pencairan dana itu. Kita pantas berharap ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR bagi martabat dan kebanggaan bangsa melalui kiprah Rio.

Advertisement

Salah satu orientasi utama keolahragaan nasional, sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 3/2015 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UUSKN), adalah membangun prestasi yang membanggakan. Kebanggaan yang mendunia menjadi sangat penting karena berhubungan dengan persoalan harkat dan martabat bangsa.

Persoalannya, fenomena Rio ini termasuk kebanggaan eksklusif. Eksklusif bukan dalam arti negatif karena sesuatu yang eksklusif itu belum tentu berkonotasi lain daripada yang lain atau sesuatu yang aneh. Eksklusivitas bisa terjadi karena prestasi Rio tidak sepadan dengan ranah pola pikir yang berkembang di masyarakat.

Prestasi itu merupakan lompatan (leap) yang sangat tinggi hingga terasa ada celah lebar pemahaman antara publik tentang dunia Rio. Masyarakat memahami cabang-cabang dan fenomena keolahragaan yang populer. Olahraga pada dasarnya bersifat nondiskriminasi, namun dalam urusan kepopuleran terdapat ”kasta” cabang olahraga yang berkembang di masyarakat.

Advertisement

Masyarakat bisa menggolongkan mana olahraga rakyat dan mana olahraga ”borjuis”. Arena sirkuit balap mobil adalah arena mewah bagi sebagian besar masyarakat kita. Mereka sekadar berpartisipasi secara pasif sebagai penonton langsung di sirkuit atau menyaksikan lewat layar kaca.

Tidak semua masyarakat menengah ke atas bisa menjadi bagian dari partisipasi aktif di olahraga otomotif tersebut. Ada anekdot yang berkembang di masyarakat: kalau Anda ingin jadi pembalap mobil maka jadilah anak seorang pembalap mobil. Setidaknya itu dibenarkan oleh keluarga Tinton Soeprapto, Alex Asma Soebrata, dan Helmi Sungkar yang melahirkan pembalap dari keluarga mereka.

Olahraga otomotif berkembang secara unik, khusus, dan eksklusif. Arena balap mobil memang bisa dinikmati semua orang. Sejak dulu event olahraga yang race pasti menghibur. Aspek kecepatan (speed) selalu menjadi hal yang sifatnya atraktif sebagai tontonan. Pada 1994 ada film yang berjudul Speed yang dibintangi aktor Keanu Reeves. Film tersebut digandrungi pencinta bioskop seluruh dunia “hanya” bermodalkan kata kunci speed.

Kesenjangan kesiapan juga tampak pada persoalan penganggaran yang terkait kebutuhan Rio yang akan tampil di Formula One. Kekurangsiapan pemerintah mendukung bukan sebuah kelemahan dan tidak bisa disalahkan. Kemenpora cenderung berorientasi sukses mengawal pertumbuhan pembianaaan cabang olahraga olympic.

Terdapat persoalan teknis karena memang tugas pokok dan fungsi Kemenpora itu mengurusi olahraga multilingkup: olahraga prestasi, olahraga pendidikan, dan olahraga rekreasi. Jer basuki mawa beja, keuntungan usaha itu lahir melalui investasi, prestasi itu lahir karena didukung banyak hal dan pasti memerlukan anggaran yang sesuai.

Persoalan ketercukupan anggaran keolahragaan kemudian menjadi catatan tersendiri di balik fenomena Rio. Persoalan pendanaan olahraga merupakan permasalahan yang akan selalu muncul. Ini merupakan fenomena paradoks dalam proses pembangunan olahraga. [Baca selanjutnya: Masalah Klasik]Masalah Klasik

Pada satu sisi kita meyakini olahraga sebagai instrumen pembangunan yang kaya nilai-nilai nation and character building, tetapi pada sisi yang lain proses pembangunan olahraga terkendala masalah klasik: pendanaan. Selalu dapat dirasakan berbagai “kegelisahan” para stakeholders dan decision maker pendanaan olahraga dari APBN/APBD.

Kegelisahan tersebut berakar dari penilaian jangka panjang atas ketidakmandirian, kekurangprofesionalan, serta besarnya peluang penyimpangan pengelolaan anggaran yang kurang akuntabel. Sudah barang tentu juga terkait kalkulasi tidak sepadannya dana yang dikucurkan dengan prestasi yang dicapai.

Kegelisahan tersebut menjadi kesedihan manakala nominal anggaran yang dibutuhkan Rio itu  “setinggi langit”. Pada Bagian Penjelasan Umum atas UU  No. 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UUSKN) ditegaskan keterbatasan sumber pendanaan merupakan permasalahan khusus dalam kegiatan keolahragaan di Indonesia.

Hal ini semakin terasa dengan perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan yang harus didukung anggaran memadai. Kebijakan tentang sistem pengalokasian dana dalam APBN dan APBD dalam bidang keolahragaan sesuai kemampuan anggaran harus dilaksanakan agar pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional dapat berjalan lancar.

Sumber daya dari masyarakat perlu dioptimalkan, antara lain melalui peran serta masyarakat dalam pendanaan, pengadaan/pemeliharaan prasarana dan sarana, dan dalam industri olahraga. APBD/APBN untuk pendanaan olahraga memang masih diperlukan sebagai stimulan karena begitulah amanah UUSKN.

Upaya sistematis menggeliatkan potensi industri olahraga harus selalu dikembangkan sebagai gerakan untuk memberdayakan potensi ekonomi keolahragaan. Jika di banyak negara maju, seperti di beberapa negara Eropa, mampu menjadikan sepab bola sebagai industri, kita sebagai bangsa yang besar mestinya optimistis mampu melakukannya.

Ada kemajuan penting terkait penggalangan dana untuk Rio. Sebagaimana diberitakan Solopos edisi 1 Maret 2016, penggalangan dana (fund raising) sedang digalakkan Kemenpora. Bukan bermaksud mengecilkan arti cara tersebut, tetapi ke depan sudah seharusnya pendanaan olahraga tidak lagi dikembangkan dengan sistem umbrug yang sporadis temporer dan mengandalkan empati kolektif spontan dari pihak-pihak tertentu.

Marilah belajar dari peluang Rio untuk tampil di Formula One. PP No. 18/2007 tentang Pendanaan Olahraga sebaiknya kita buka kembali, kita desain, dan kita implementasikan untuk mewujudkan ketercukupan anggaran olahraga. Jangan terpasung oleh APBD/APBN. Di balik kewajiban yang harus diemban pemerintah terhadap olahraga, olahraga tidak boleh tumbuh menjadi beban pemerintah.

Berterima kasihlah kepada Rio yang telah membuka mata kita semua, betapa kita selama ini belum bekerja keras mempersiapkan diri. Langkah optimal penggalangan dana olahraga belum dilakukan secara tuntas, cerdas, dan ikhlas.

Kita butuh dana besar untuk yang hal lainnya, tetapi peluang Rio adalah pintu masuk yang tidak boleh dikesampingkan. Nilai kebanggaan ekslusif jangan terpisah dari nilai kebanggaan secara utuh demi mewujudkan bangsa yang bermartabat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif