Jogja
Kamis, 3 Maret 2016 - 20:20 WIB

ALIH FUNGSI LAHAN : Pembangunan di Ngaglik Tumbuh Pesat, Ini Dampaknya

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi lahan pertanian yang beralih fungsi. (Dok. Solopos.com/JIBI/ Bisnis.com)

Alih fungsi lahan di Kecamatan Ngaglik Sleman semakin menggerus lahan pertanian

Harianjogja.com, SLEMAN- Sebagai kawasan penyangga pengembangan (aglomerasi), Kecamatan Ngaglik tidak lepas dari derasnya pembangunan. Hal itu berdampak pada tergerusnya lahan hijau di wilayah tersebut yang hingga kini tinggal separuh.

Advertisement

Camat Ngaglik Anggoro Aji Sunaryono menjelaskan, sebagai kawasan aglomerasi dengan luas wilayah kurang lebih 3.852 hektare, proses pembangunan di wilayahnya tumbuh cepat.

Satu sisi, proses pembangunan di sektor perdagangan, barang dan jasa tumbuh pesat. Secara ekonomis mampu menggerakkan ekonomi masyarakat setempat.

“Di sepanjang jalan Palagan misalnya, area sawah banyak yang berubah menjadi wilayah permukiman (perumahan) dan pusat kuliner,” ujar Aji saat ditemui di kantornya, Rabu (2/3/2016).

Advertisement

Di sisi lain, akibat pertumbuhan penduduk sekitar 2,28% per tahun, luas lahan terbuka hijau di wilayah tersebut semakin tergerus. Pengurangan lahan hijau, katanya, terjadi hampir di enam desa.

“Masing-masing desa alih fungsi lahan hijau bervariasi. Di Donoharjo, misalnya, saat ini lahan hijaunya masih sekitar 65 persen, sementara Sariharjo tinggal 30 persen. Untuk seluruh wilayah Ngaglik, kira-kira tersisa 50 persen saja,” lanjut Aji.

Dia menilai, ada sejumlah faktor yang menyebabkan lahan hijau beralih fungsi. Selain praktik jual beli pemilik sawah ke pihak pengembang (properti), ahli waris umumnya enggan untuk terjun ke sektor pertanian. Selain itu, naiknya harga jual tanah akibat laiknya jalan di desa-desa menyebabkan pemilik sawah tergiur untuk menjual tanahnya.

Advertisement

“Pemeritah sendiri belum bisa membebaskan lahan hijau karena keterbatasan anggaran. Kalau alokasi anggaran besar, kemungkinan mempertahankan lahan hijau bisa dilakukan. Ini yang dilematis. Kami juga tidak bisa melarang warga menjual tanahnya ke pihak investor,” ujar Aji.

Dia berharap ke depan proses pembangunan di wilayah Ngaglik harus sesuai dengan rencana detail tata ruang (RDTR) Sleman. Keinginan Aji bukan tanpa kendala. Pasalnya, banyak celah yang digunakan sejumlah pihak untuk menghindari ketentuan RDTR. Salah satunya, proses peralihan tanah persawahan ke permukiman (perumahan) diakali oleh pengembang.

“Perumahan dibangun meskipun di lahan hijau oleh pengembang. Rumah dibangun atas nama pemiliknya. Untuk menghindari izin pemanfaatan tanah (IPT), mereka hanya membangun empat unit saja,” terangnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif