Soloraya
Jumat, 19 Februari 2016 - 06:30 WIB

PENDAPATAN DAERAH : Pajak Hiburan Solo Dinilai Tak Kompetitif

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi mengunggah foto tiket perjalanan (Theplanetd.com)

Pendapatan daerah, pajak hiburan di Kota Solo dinilai terlalu tinggi.

Solopos.com, SOLO–Pengenaan pajak sebesar 25% bagi agenda kesenian dan musik di Solo dinilai terlalu tinggi. Kondisi itu rawan membuat investasi kegiatan lari ke daerah di sekitar Solo yang berpajak lebih rendah. Tingginya pajak hiburan juga dinilai belum berbanding lurus bagi kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).

Advertisement

Anggota DPRD yang juga mantan event organizer (EO), Ginda Ferachtriawan, menilai besar pajak hiburan yang tercantum dalam Perda No.4/2011 tentang Pajak Daerah perlu dikaji ulang sesuai perkembangan zaman. Menurut Ginda, pajak senilai 25% bagi agenda kesenian dan musik tak lagi kompetitif merujuk persaingan antarkota.
“Jogja pajaknya hanya 15%. Dengan segmen pasar yang lebih menggiurkan dari Solo, tidak heran banyak konser atau acara kesenian besar lari ke sana,” ujar Ginda saat ditemui Solopos.com di Gedung DPRD, Kamis (18/2/2016).

Ginnda mengatakan Solo yang digadang-gadang sebagai kota MICE (Meetings, Incentives, Conferencing, Exhibitions) mestinya ikut memertimbangkan investasi dari segi hiburan. Dia sudah banyak mendengar keluhan penyelenggara event ihwal tingginya pajak hiburan di Kota Bengawan. Menurut Ginda, banyaknya pembangunan hotel yang memiliki ballroom megah di Satelit Solo dapat menjadi ancaman baru bagi semarak hiburan di Solo.

“Kalau ternyata pajak di wilayah penyangga Solo lebih rendah, mending penyelenggara konser menggelar acara di hotel di Colomadu atau Solo Baru. Toh akses dan fasilitasnya tak jauh beda.”

Advertisement

Ginda menilai tingginya pengenaan pajak hiburan sejauh ini belum berpengaruh signifikan pada keuangan daerah. Menurut Ginda, hampir semua penyelenggara konser mengakali tingginya pajak dengan hanya memperforasi sebagian tiket yang disiapkan. Perforasi atau pelubangan tiket sesuai standar daerah menjadi acuan pembayaran pajak. “Alhasil penerimaan pajak tidak pernah optimal. Kasus terbaru ya di konser MLTR [Michael Learns to Rock] dan Christian Bautista itu,” tukasnya.

Ketua Komisi III, Honda Hendarto, menilai pengawasan terhadap jalannya kegiatan musik dan kesenian perlu ditingkatkan untuk menekan potensi pajak yang hilang. Menurut Honda, petugas Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) yang diterjunkan mengawasi kegiatan mestinya tidak tinggal diam jika melihat jumlah pengunjung konser tak sesuai dengan tiket yang diperforasi.

“DPPKA  harus berani mengaudit kalau terjadi penyimpangan di lapangan,” tegasnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif