Kolom
Kamis, 11 Februari 2016 - 06:55 WIB

GAGASAN : Tionghoa, Solo, dan Timlo

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (10/2/2016), ditulis Heri Priyatmoko. Penulis adalah dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Peneliti sejarah kuliner Solo.

Solopos.com, SOLO — Esai Hendra Kurniawan perihal kuliner Tionghoa (Solopos, 6/2) dan kemeriahan perayaan Tahun Baru Imlek di Kota Solo menggugah ingatan saya terhadap sebuah dokumen bersifat rahasia.

Advertisement

Saat penelitian di Arsip Nasional Jakarta saya menemukan sebundel dokumen tentang daftar orang keturunan Tionghoa di Kota Solo pada 1947. Dokumen yang dikeluarkan Kantor Karesidenan Surakarta dan diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri ini saya sebut rahasia lantaran dalam surat pengantar diberi stempel ”rahasia”.

Ada misteri apa yang tersembunyi di balik itu? Seorang peneliti akan gagal menafsirkan arsip tanpa memahami konteks zaman ketika arsip tersebut ditulis serta siapa yang mengeluarkannya.

Periode 1947 merupakan fase Indonesia baru saja merdeka. Belanda masih bernafsu merampas kemerdekaan. Ada sebagian warga etnis Tionghoa memihak Belanda sebab belum siap menghadapi kenyataan Indonesia merdeka.

Advertisement

Tempo doeloe etnis ini sempat intim dengan Belanda dan diberi hak monopoli perdagangan lalu mendapat perlawanan dari Sarekat Dagang Islam. Kecurigaan menumpuk pada komunitas Tionghoa yang bersimpati kepada penjajah ketimbang pemerintah Republik In donesia. Keberadaan mereka di Solo diawasi sedemikian ketat.

Dalam daftar tersebut ditulis secara terperinci nama, jenis kelamin, umur, dan tempat tinggal (kampung). Warga Tionghoa yang mendiami Kelurahan Keprabon 320 jiwa, Ketelan 187 jiwa, Manahan 87 jiwa, Mangkubumen 272 jiwa, Setabelan 538 jiwa, Kestalan 641 jiwa, Timuran, 377 jiwa, Gilingan 621 jiwa, Kratonan 482 jiwa, Kemlayan 529 jiwa, dan Gajahan 825 jiwa.

Pada 1947 itu jumlah seluruh orang Tionghoa yang bermukim di Solo 4.899 jiwa. Dari kacamata kekuasaan, dokumen setebal 100 halaman lebih itu memantulkan pandangan pemerintah yang menempatkan kelompok Tionghoa sebagai liyan dan dianggap seperti “hantu” yang perlu diawasi.

Menilik lembaran sejarah lokal, pandangan atau stigma itu telah mengakar lama akibat timbunan kenangan pahit benturan antara etnis Jawa dengan Tionghoa yang pecah beberapa kali. Tema harmoni selanjutnya diteliti berulang-ulang sebagai strategi rekonsiliasi.

Advertisement

Rustopo (2007) menelaah kaum Tionghoa yang peduli budaya Jawa dan Riyadi di Rubrik Gagasan Harian Solopos mengkaji interaksi warga kampung Balong. Adakah ruang harmoni selain hal di atas yang benar-benar terbebas dari konflik atau sentimen etnis?

Apabila mengaitkan dengan ruang dapur, warga etnis Tionghoa sesungguhnya bukan liyan. Mereka justru turut memeriahkan meja makan kita. Masyarakat peranakan Tionghoa di Solo bukanlah masyarakat yang homogen. Kala itu ada yang berkiblat Belanda, ngleluri budaya leluhur Tiongkok, maupun meleburkan diri bersama budaya lokal. [Baca selanjutnya: Cita Rasa]Cita Rasa

Dalam proses akulturasi dihasilkan banyak cita rasa baru yang merupakan gabungan kuliner Tionghoa dan Jawa. Fushion food baru itu berkembang luas dan menjadi khazanah kuliner Nusantara yang tidak ditemui di Tiongkok.

Tiongkok ialah negara empat musim. Kondisi ini menyebabkan Tiongkok secara alami tak memiliki bumbu dan rempah berlimpah seperti di Nusantara, kecuali sedikit di bagian selatan yang beriklim subtropis.

Advertisement

Makanan Tionghoa tidak mengenal cita rasa yang kaya rempah dan bumbu laiknya masakan Nusantara. Bumbu kuliner Tionghoa di antaranya bawang putih (Allium sativum), jahe, merica, dan cabai.

Bumbu dan rempah Nusantara sangat kaya dan beragam jenisnya, yaitu kunyit, lengkuas, kencur, kemiri, daun salam, bawang merah, keluak, serai, daun pandan, terasi, dan sebagainya.

Fadly Rahman (2014) menjelaskan panen usaha pertanian berbagai bahan makanan yang dikerjakan orang Tiongkok sebelum abad XVIII mesti dilihat sebagai suatu hal menakjubkan bagi perkembangan makanan pada masa selanjutnya.

Mengapa? Sejumlah tanaman pangan yang dibudidayakan para pekebun peranakan di berbagai kantong perkebunan (Jawa, Sumatra, dan Kalimantan) berimbas pada penamaan sekian jenis tanaman yang oleh penduduk pribumi biasa diakhiri kata ”china”.

Advertisement

Contohnya adalah adas china (berbentuk mirip belimbing), baru china (sejenis tanaman penyedap masakan), buluh china (sejenis tanaman bambu), gadung china (sejenis ubi), kacang china (nama lain kacang tanah), lada china (sejenis lada), pacar china (Aflaia adorata) dan ubi china (Dioscorea bulbifera).

Akulturasi terbaik di jagat kuliner Solo-Indonesia, sayangnya fakta ini luput ditangkap Hendra Kurniawan, yakni makanan timlo yang terinspirasi dari kimlo. Selama ini orang mudah tergelincir menganggap kimlo adalah timlo.

Kimlo merupakan nama jenis hidangan berkuah yang berasal dari Tiongkok. Masakan tersebut di area Jawa Timur dan Jawa Tengah berkembang menjadi sup dan beredar di kawasan pecinan.

Saya temukan fakta berharga ini di buku resep masakan Poetri Dapoer (1941) yang disusun perempuan Tionghoa. Di situ ada panduan cara memasak kimlo memakai wajan.

Terlebih dahulu tujuh suing bawang merah dirajang lalu digoreng. Daging diceburkan hingga kelihatan putih, diberi sedikit garam dan kecap. Air mendidih dituangkan secukupnya. Sohun, jamur kuping, dan kincam dimasukkan dan ditambahi udang basah yang telah dicuci (kalau tidak ada boleh diganti ebi).

Masukkan pula lima butir kentang yang diiris menjadi empat dan kubis 4-5 lembar dipotong kecil. Wajan ditutup sebentar supaya airnya mendidih. Setelah itu dipindahkan ke dalam panci dan tinggalkan sampai matang betul baru diangkat.

Advertisement

Saat hendak disantap, kimlo ditaburi bawang goreng dan merica halus. Jika suka cuka, boleh memakainya untuk menghilangkan bau amis udang. Setelah mempelajari kawruh bab olah-olah di atas dan pengaruh kontak budaya, kreativitas wong Solo muncul. [Baca selanjutnya: Ekologi Budaya Pecinan]Ekologi Budaya Pecinan

Mereka berpeluh dan bereksperimen di pawon, menjajal mangsak makanan baru bernama timlo. Soal penamaan, mereka tak ambil pusing, hanya mengganti huruf “k” dengan huruf “t”.

Bukan daging babi yang dipakai, melainkan telur dan jeroan ayam yang populer sebagai bahan utama orang Jawa kala memasak. Diberi pula sosis agar makin nikmat. Terjaringlah konsumen yang lebih luas dan warga beragama Islam bisa menyantapnya.

Siapa kira kuliner hasil kreasi ini ternyata sanggup bertahan, bahkan mampu melewati gempuran rezim masa lalu yang terkenal represif terhadap budaya Tionghoa di Indonesia.

Diuji oleh waktu dan lidah banyak orang, timlo melejit menjadi hidangan khas serta digandrungi pelancong. Kita tak boleh menutupi realitas sejarah ini bahwa timlo dilahirkan dalam pengaruh ekologi budaya masyarakat pecinan.

Maklum bila makanan ini gampang dijumpai di kawasan Pasar Gede yang dikitari oleh pemukiman Tionghoa, bukan di lingkungan keraton yang merupakan lembaga pemberi stempel makanan enak Jawa.

Demikianlah sepenggal cerita harmoni budaya Tionghoa-Jawa di Solo pada masa silam yang tersembul dalam semangkuk timlo yang rasanya–meminjam lidah Belanda—heel lekker alias uenak puol. Sejarah membuktikan bersama makanan khas lainnya timlo sukses menabalkan julukan Solo “surga kuliner” dan “kota keplek ilat”.

Dapat dipahami timlo bisa dijadikan sarana membayangkan suatu rasa bersama yang mampu mewujudkan rasa persatuan. Terima kasih para sahabat Tionghoa…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif