Kolom
Selasa, 9 Februari 2016 - 11:15 WIB

GAGASAN : Jurnalisme Gaduh dan Tanpa Makna

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agoes Widhartono (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (9/2/2016), ditulis Agoes Widhartono. Penulis adalah penekun jurnalisme yang tinggal di Jogja.

Solopos.com, SOLO — Surat kabar diramalkan tidak akan bertahan lama. Penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang demikian pesat saat ini. Internet, media online, dan industri perangkat keras serta peranti lunak yang terus mewabah tak terbendung kini menjadi kebutuhan hidup, bukan lagi sekadar gaya hidup.

Advertisement

Media cetak terimbas. Oplah cenderung terus menurun. Preferensi literer masyarakat berubah karena lebih memilih menggunakan peralatan dengan teknologi canggih.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan tentang program 15 menit membaca sebelum pelajaran sekolah dimulai. Ini tentu berkaitan dengan realitas sosial tersebut. Secara sosiologis, kehadiran manusia kini lebih banyak dinilai sebagai aktivitas di dunia virtual ketimbang perjumpaan langsung di dunia nyata.

Interaksi antarmanusia di dunia maya mengabaikan rasa saling menghargai pada sesama yang bisa mewujud dan didapatkan melalui gerak tubuh, gesture, tutur kata, tata krama, subasita,  dan kehangatan jiwa sebagai makhluk sosial.

Advertisement

Apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai consumer society kini mewujud dalam kenyataan masyarakat sekarang bukan hanya mengonsumsi barang untuk kebutuhan biologis, tapi juga konsumsi tanda sebagai upaya pencitraan.

Komunikasi seolah-olah menjadi bebas nilai, tanpa batas wilayah kepantasan maupun etika publik. Media sosial di Internet menjadi sarana manusia mengekspresikan komunikasi model begini. Ribut, gaduh, riuh, tapi kering nilai, kering apresiasi, dan tanpa makna.

Indonesia menikmati babak baru kebebasan pers sejak rezim otoriter Orde Baru tumbang pada 1998. Pertanyaannya, apakah dengan demikian pers dan khalayak sudah benar-benar berada dalam posisi linier?

Apakah pers sebagai cermin kehidupan sosial masyarakat itu dalam memproduksi informasi selalu dipandu tuntutan teknis dan etis sekaligus demi menghadirkan informasi berkualitas dan juga sudah mampu menghadirkan makna bagi publik?

Advertisement

Jika hal itu terjadi, pers telah mengangkat harkat dan martabat dirinya serta mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang memperoleh produk informasi pers bermutu. Jika memang belum, upaya untuk itu tentu saja diharapkan terus dilakukan oleh para pengelola media pers, kaum profesional di bidang jurnalisme.

Ketaksejajaran posisi, pers sebagai produsen informasi dan masyarakat sebagai konsumen, menjadi titik gesek yang terus diperdebatkan bahkan kadang digali untuk sengaja mendapatkan ceruk pasar bagi pers.

Sinergisme antara pers dan masyarakat sampai sejauh ini tentu masih menjadi perdebatan. Meski demikian, harus disadari bahwa informasi yang muncul dalam berbagai media, seiring dengan dinamika masyarakat, merupakan cerminan masyarakat itu sendiri. [Baca selanjutnya: Sensasi Tanpa Substansi]Sensasi Tanpa Substansi

Tak dapat dimungkiri, produk informasi media saat ini banyak diwarnai sajian yang lebih banyak mengeksploitasi persoalan menyangkut kehidupan privat ketimbang kehidupan publik. Hal-hal yang remeh-temeh (trivial) lebih dominan disajikan.

Advertisement

Tidak saja muncul dalam tayangan siaran televisi, media online maupun portal berita, namun juga media cetak. Memanfaatkan untuk terus mencari peluang pasar agaknya menjadi pertimbangan, terutama bagi media cetak, dalam upaya terus survive di tengah persaingan pasar yang kian ketat.

Judul banyak dibuat atraktif dengan kata konotatif atau insinuatif sekalipun. Visualisasi kadang vulgar. Unsur sengaja menciptakan sensasi melalui judul–padahal faktanya tidak ada apa-apa–lebih menonjol ketimbang menghadirkan substansi.

Body text yang disusun compang-camping karena faktor kesegeraan, ditulis dan dikirim ke redaksi langsung dari lokasi peristiwa melalui peralatan canggih, kadang tidak lagi sempat mendapat sentuhan editor demi memelihara akurasi, substansi, maupun penalaran. Sekadar menonjolkan unsur menarik dibanding unsur penting atas fakta yang diberitakan itu.

Hal macam ini sering muncul pada pelaporan langsung siaran berita televisi di Indonesia. Penyampaian fakta yang tidak terstruktur dengan bahasa dan logika yang tidak terjaga adalah kenyataan yang tidak lagi asing bagi khalayak pemirsa.

Advertisement

Jika demikian yang terjadi, terbuka pertanyaan kritis: seperti apa  pers memandang kebebasan pers? Apakah semata dilihat sebagai kesempatan mewartakan apa pun, tanpa sensor? Atau disadari justru ketika sensor sudah tidak ada maka kesempatan terbaik adalah untuk memberikan pendidikan kepada khalayak atas apa yang semestinya diketahui?

Pada hal terakhir inilah yang tidak terjadi ketika rezim pemimpin otoriter menggenggam kebebasan pers di negeri ini, menyembunyikan fakta penting. Perkembangan teknologi media, yang antara lain ditandai dengan  munculnya media online, adalah lompatan bagi perkembangan pers.

Kemajuan teknologi memudahkan orang mendapatkan aneka ragam informasi. Meski demikian, tentunya khalayak juga punya hak untuk berharap kepada media cetak, surat kabar pada khususnya, yakni bagaimana media cetak bisa menghadirkan informasi lebih detail, lebih jelas, dan tentu saja bermakna, dibanding media lain.

Bukankah rentang waktu 24 jam yang dimiliki surat kabar untuk menghadirkan beragam informasi dengan lebih bernas, tajam, jelas, jernih, adalah kesempatan emas? Memang tidak seperti televisi yang bisa menghadirkan peristiwa real time, langsung pada saat itu juga.

Surat kabar membutuhkan banyak waktu dalam mengolah, memproses realitas sosial menjadi informasi, sehingga sebuah peristiwa atau fenomena bisa hadir di tangan pembaca.

Pengelola surat kabar sekarang tentu makin menyadari akan ancaman bahwa waktu kian menyusut dan kesempatan kian sempit. Dengan demikian, mau tidak mau memang harus memacu diri untuk lebih baik dalam menyuguhkan berbagai informasi. [Baca selanjutnya: Bukan Pengganti]Bukan Pengganti

Advertisement

Sedangkan media online yang berpegang pada prinsip kesegeraan, setiap saat harus selalu memperbarui informasi (up dating), punya kaidahnya sendiri. Jika tidak, tentu perkembangan media online, baik portal berita maupun melalui media sosial, menjadi sekadar media dengan keandalan teknologi, tanpa menjejaki makna dan etika.

Melihat perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini, seiring dengan kebebasan pers yang diberikan rezim pemerintah, tentu akan sia-sia jika produk pers justru tersembunyi di balik semua itu karena tidak mampu menghadirkan makna.

Persoalan penting dalam hal ini sudah tidak lagi pada bagaimana media itu menyampaikan informasi, namun apa yang akan diinformasikan. Ini lebih penting karena melalui content itulah bisa dilihat, sebuah produk pers yang dihasilkan melalui proses kerja jurnalisme, menjadi informasi yang bermakna atau sekadar numpang lewat dan kehadirannya tak bernilai apa-apa.

Sekadar sebagai penggembira dan pemberi semangat dalam lintasan hidup manusia. Tuturan yang nyinyir, riuh, gaduh, tapi kosong tanpa nilai. Maraknya media sosial sekarang, juga sering disalahartikan seolah bisa sebagai “pengganti” media mainstream karena kecepatan, keterbukaan, dan kebebasan yang dimilikinya.

Sesungguhnya media sosial memang bukan media jurnalisme yang terikat dalam disiplin besi kaidah keseimbangan antarpihak dan pengecekan demi akurasi (Siregar, 2013). Tentu banyak cara yang bisa diambil media pers cetak, terutama surat kabar, dalam upaya mempertahankan eksistensinya.

Menafsir aktualitas, adalah salah satu cara. Menjadi pertanyaan jika media pers cetak masih tetap mengandalkan pemahaman bahwa aktualitas adalah sesuatu yang belum diwartakan media bersangkutan.

Jika media konvensional lebih dalam lagi menggali, menyisir, kemudian memilah informasi yang tepat bagi khalayaknya, tentu informasinya akan jauh lebih bermakna. Unsur kelengkapan tidak boleh diabaikan.

Menerapkan trik guna memberi sesuatu yang lebih kepada khalayak akan meniadakan kesan bahwa pembaca seolah hanya disuruh mengulang informasi yang sebenarnya sudah diketahui. Selain itu, upaya lain yang bisa ditempuh adalah dengan news analysis pada item-item berita yang dianggap penting.

Salah satu cara adalah kehadiran kolom yang ditulis jurnalis yang berpengalaman di lintas desk-editor. Kehadiran berita melalui fakta keras yang muncul setiap hari akan lebih berarti jika dimaknai dengan tulisan berisi informasi yang menghasilkan insight bagi khalayak.

Dengan demikian bagi institusi media, menafsir ulang soal aktualitas tentu akan menjadi pemikiran yang tidak sederhana. Memang benar kebebasan pers tidak akan berarti apa-apa tanpa pers terus membangun dignity dirinya dengan tujuan produk informasi yang dihasilkan bukan sekadar implementasi terbukanya pintu demokrasi, namun juga berisi representasi masyarakat yang memang sudah lebih “melek” dan membutuhkan berita bermakna.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif