News
Selasa, 26 Januari 2016 - 11:15 WIB

PENYANDANG DISABILITAS : 3,75 Juta Tunanetra Tuntut Hak Bersekolah

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok.SOLOPOS)

Penyandang disabilitas yakni tunanetra menuntut hak mereka untuk mendapatkan pendidikan layak.

Solopos.com, SOLO – Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan hak-hak tunanetra mengenyam pendidikan secara layak. Dari total 3,75 juta para penyandang tunanetra di Indonesia, rata-rata mereka masih hidup prasejahtera lantaran minimnya akses pendidikan bagi mereka.

Advertisement

“Selama ini tunanetra kerap kali dipandang sebagai objek belas kasihan. Kami mendorong pemerintah agar mengubah paradigma itu. Tunanetra harus menjadi subjek yang harus diberdayakan agar mereka mandiri dari berbagai sisi,” ujar Ketua Umum Pertuni, Aria Indriawati kepada wartawan dalam jumpa pers di Hotel Alila Solo, Senin (25/1/2016).

Salah satu hak penyandang tunanetra yang selama kerap diabaikan ialah pendidikan. Data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sekitar 40% dari 3,75 juta penyandang tunanetra di Indonesia adalah anak-anak usia sekolah. Mereka rata-rata adalah anak putus sekolah atau sama sekali tak mengenyam pendidikan lantaran keterbatasan akses.

“Mereka tak bisa sekolah karena jauh, tak ada biaya, dan ingin sekolah di SD terdekat tak diterima dengan alasan tak ada guru khusus. Lantas, bagaimana mereka bisa mandiri jika akses sekolah saja tak disediakan,” papar dia.

Advertisement

Kondisi miris inilah yang mendorong Pertuni untuk menyerukan gerakan Ayo Sekolah. Melalui momentum 50 tahun usia Pertuni, pesan Ayo Sekolah itu disampaikan dalam Parade Tongkat Putih yang digelar di lapangan Kotta Barat Solo, Selasa (26/1/2016).

Parade Tongkat Putih adalah sebentuk aksi jalan kaki seribuan tunanetra dari berbagai daerah untuk mengelilingi kota-kota besar mulai dari Surabaya-Tuban-Semarang-Solo-Jogja-Purwokerto-Garut-Bandung-Jakarta. “Tongkat putih adalah identitas kami, pengganti penglihatan kami, sekaligus simbol kemandirian kami,” papar dia.

Dalam parade tersebut, kata Aria, para penyandang tunanetra ingin menyampaikan pesan kepada publik dan pemangku kebijakan, agar mereka lebih peduli kepada hak-hak kaum difabel, khususnya tunanetra. Mulai hak berjalan, hak kesempatan bekerja, hak kesehatan, hak politik, dan yang utama ialah hak sekolah.

Advertisement

Dewan pembina Pertuni, Bob Hasan, menambahkan tunanetra ke depan tidak boleh melulu hanya menjadi tukang pijat. Tunanetra harus duduk sejajar dengan orang lainnya dalam kesempatan bersekolah, bekerja, berkarya, dan berpolitik.

“Banyak anggota Pertuni yang sudah meraih gelar doktor, menjadi dokter, dan orang sukses lainnya,” tambah dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif