Soloraya
Jumat, 22 Januari 2016 - 10:35 WIB

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN : Hadapi MEA, IKM di Klaten Didorong Tingkatkan Mutu

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi MEA (JIBI/Bisnis.com/Colourbox-com)

Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi tantangan untuk IKM di Klaten guna meningkatkan mutu.

Solopos.com, KLATEN – Puluhan ribu Industri kecil menengah (IKM) di Klaten didorong meningkatkan kompetensi pekerja serta standardisasi hasil produksi mereka guna bersaing setelah masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) berlaku. Saat ini, IKM di Klaten disebut belum siap menghadapi persaingan perdagangan barang dan jasa di seluruh Asia Tenggara.

Advertisement

Kabid Perindustrian Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disperindagkop dan UMKM) Klaten, Yoenanto Sinung Nugroho, mengatakan kian bebasnya perdagangan menuntut pelaku usaha meningkatkan standardisasi agar produk mereka laku dijual.

Ia mengatakan standardisasi itu beragam tergantung dari jenis produk yang dihasilkan. Standardisasi tersebut seperti standar nasional Indonesia (SNI), sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), sertifikat pangan industri rumah tangga (PIRT), sertifikat halal, dan sebagainya.

Dalam bentuk kelembangaan usaha atau manajemen mutu industri seperti ISO. Di ketenagakerjaan, sudah ada standar kompetensi kerja nasional industri (SKKNI).

Advertisement

Ia menjelaskan di Klaten ada sekitar 54.000 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terbagi dalam 11 klaster. Dari jumlah itu, 35.000 usaha masuk kategori industri kecil menengah (IKM).

Soal kesiapan pelaku usaha dalam hal standardisasi produk serta kompetensi kerja, Sinung tak menampik masih banyak IKM di Klaten yang belum siap menghadapi MEA. “Kalau diperkirakan belum ada 10 persen yang siap menghadapi MEA,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (21/1/2016).

Belum siapnya IKM menghadapi MEA di antaranya lantaran keterbatasan dana guna meningkatkan standardisasi serta masih ada pelaku usaha yang tak paham soal MEA.

Advertisement

Sinung mencontohkan guna mendapatkan label SNI untuk satu produk, biaya yang dikeluarkan puluhan juta rupiah. Hal itu seperti pada pengajuan SNI untuk mainan edukatif di Desa Jetiswetan, Pedan dengan biaya pengurusan satu kelompok mencapai Rp30 juta.

“Kami terus memacu pelaku usaha untuk siap menghadapi MEA. Salah satunya dengan mengajukan bantuan ke provinsi dan pusat agar pelaku usaha memiliki standardisasi. Saat ini, sudah ada pengajuan dari 10 usaha untuk ISO dan 10 usaha untuk SNI. Ini kami coba usulkan ke pusat dan provinsi,” urai dia.

Sementara itu, Ketua Forum IKM-UKM Klaten, Saminu, mengatakan selama ini sebenarnya tak ada kendala bagi pelaku usaha di Klaten untuk meningkatkan standardisasi produk mereka.

Hanya, persoalan kesadaran untuk meningkatkan kualitas produk yang mesti dipacu kepada para pelaku usaha di Klaten. “Ini yang akan kami terus motivasi pentingnya standardisasi produk,” ujar dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif