Jogja
Senin, 4 Januari 2016 - 06:20 WIB

KONFLIK TPST PIYUNGAN : Harga Lahan Ganjal Perluasan

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gunungan sampah di TPA Piyungan, Senin (11/5/2015). (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Konflik TPST Piyungan belum dapat dituntaskan.

Harianjogja.com, BANTUL- Perluasan lahan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan hingga sekarang macet, lantaran terganjal harga lahan.

Advertisement

Perluasan TPST telah direncanakan sejak 2012. Namun sampai sekarang, belum ada satu bidang tanah pun yang dibebaskan. Staf Pelaksana TPST Piyungan, Marwan mengungkapkan, perluasan TPST direncanakan lima hektare, berlokasi di sebelah timur tempat pembuangan sampah saat ini.

Sebagian lahan tersebut merupakan milik warga. “Kalau tidak salah tiga hektare diantaranya lahan warga lainnya kas desa. Semuanya berada di Desa Sitimulyo, Piyungan,” ungkap Marwan, Minggu (3/1/2016).

Masalahnya kata dia, sebagian besar warga menolak harga pembelian tanah yang ditawarkan pemerintah. Mulanya, pemerintah menawarkan harga sebesar Rp18.000 per meter persegi lalu naik menjadi Rp35.000.

Advertisement

“Harga itu katanya sudah sesuai NJOP [nilai jual objek pajak] tapi warga menganggap terlalu murah,” papar dia.

Warga memilih tidak menjual lahan mereka. Tanpa dijual, warga kata dia mengaku tetap untung.
“Daripada dijual mereka bilang dijual urug tanah saja sudah untung, lahan tidak hilang,” tuturnya lagi.

Macetnya perluasan lahan dinilai bakal menimbulkan masalah. Sebab kapasitas TPST saat ini menurut kajian terakhir 2014 hanya mampu menampung sampah hingga tahun ini.

Advertisement

“Setiap hari, TPST menampung sampah sebanyak 450 ton.

TPST saat ini seluas 10 hektare. Menampung sampah dari Kabupaten Sleman, Kota Jogja dan Bantul. Ratusan ton sampah itu setiap hari diurug dengan tanah untuk mengurangi bau.

Terpisah, Ketua RT 3 Dusun Ngablak, Sitimulyo Piyungan, Dalyanto mengakui warganya selaku pemilik lahan di area perluasan menolak harga yang ditawarkan Pemerintah karena dianggap terlalu murah.

“Maunya warga jangan Rp35.000 semeter persegi. Dulu sudah beberapa kali dilakukan pertemuan, tapi gagal terus karena harga tidak cocok,” kata Dalwanto.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif