Jogja
Jumat, 18 Desember 2015 - 19:40 WIB

Petani Tebu Masih Rugi Rp4 Juta

Redaksi Solopos.com  /  Sumadiyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dari total pendapatan Rp24 juta per ton, petani masih menanggung rugi Rp4 juta.

 

Advertisement

Ilustrasi petani tebu rakyat. (JIBI/Solopos/Antara/Destyan Sujarwoko)

Harianjogja.com, SLEMAN-Rendemen yang rendah masih membuat petani tebu di DIY rugi. Pasalnya dari total pendapatan Rp24 juta per ton, petani masih menanggung rugi Rp4 juta.

Salah satu petani tebu di Purwomartani, Kalasan, Sleman, Gito Sudarmo menyampaikan, saat ini ia menerima rendemen 6,5%. Rendemen adalah kadar gula dalam tebu. Rendemen ini masih dibagi untuk petani dan pabrik. Di DIY sendiri pembagian rendemen adalah 66:34. 66 untuk petani dan 34 untuk pabrik.

Advertisement

Gito menghitung per ton-nya, jika rendemen 6,5%, satu ton tebu hanya menghasilkan 65 kg gula. Jika dibagi dengan rumus 66:34 maka petani menerima 42,9 kg. Dan jika dikalikan harga lelang gula saat ini sebesar Rp9.500 per kg maka pendapatan kotor yang petani terima adalah Rp407.550 per ton.

Sementara dari satu hektare lahan tebu, ia mampu menghasilkan 60 ton. “60 ton kali Rp407.550 ketemu Rp24,4 juta. Padahal biaya produksinya sampai Rp28 juta,” kata Gito pada Harian Jogja di sela-sela acara Munas IV Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Alana Hotel and Convention Hall Jogja, Jumat (18/12/2015).

Biaya produksi meliputi sewa tanah, pembelian bibit, pembelian pupuk, bayar tenaga tanam hingga panen, obat hama, dan juga biaya angkutan ke pabrik. Gito sendiri memiliki 20 hektare lahan sehingga ia harus menanggung rugi cukup banyak. “Kalau mau untung itu kalau rendemennya bisa 10 persen,” kata dia.

Advertisement

Sementara Ketua DPD APTRI DIY Roby Hernawan menyampaikan, rata-rata rendemen DIY adalah 7,4%. Setiap petani menerima rendemen berbeda tergantung kualitas tebu. Menurutnya rata-rata rendemen DIY masih tertinggal dengan Jawa Timur yang sudah mencapai 8,7%.

“Faktornya, pabrik kita butuh diperbarui. Madukismo yang sudah ada sejak 1955 tentu butuh pembaharuan teknologi,” kata Roby.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif