Jogja
Rabu, 2 Desember 2015 - 22:55 WIB

KISAH INSPIRATIF : SURVIVE! GARAGE, Kritik Sosial Lewat Kaos

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - SURVIVE!GARAGE (JIBI/Harian Jogja/Sekar Langit N.)

Kisah inspiratif berikut datang dari seniman sekaligus pengusaha.

Harianjogja.com, JOGJA– Komunitas seni yang berbasis di Bantul menyampaikan kritik sosial dengan media paling sederhana, kaos. Bayu Widodo, sang penggagas komunitas ini menjadikan penyampaian kritik sosial yang sedang dilakukannya sebagai bagian dari pertanggungjawaban hidup sebagai seniman.

Advertisement

Nampak sebuah tenda putih ramai dikunjungi ibu-ibu berjilbab di siang hari nan terik itu. Itu bukan stan hijab ataupun tas bermerk melainkan stan komunitas yang menjajakan kaos-kaos dengan desain street art. SURVIVE!GARAGE, demikian nama komunitas ini sebagaimana terpampang di bagian tenda. Tertulis pula, Rp15 ribu bawa kaos sendiri, Rp60 ribu dengan kaos. Rupanya khusus di tenda ini menyediakan jasa sablon kaos dengan desain yang sudah disediakan. Nampak sebuah aket hitam sedang dijemur pasca disablon oleh para seniman muda itu.

Tenda itu merupakan salah satu bagian dari artshop milik SURVIVE!GARAGE yang dibuka guna membiayai keberlangsungan kegiatan mereka secara mandiri.

Advertisement

Tenda itu merupakan salah satu bagian dari artshop milik SURVIVE!GARAGE yang dibuka guna membiayai keberlangsungan kegiatan mereka secara mandiri.

“Seniman zaman sekarang harus pandai cari uang, bisa berkarya dan bisa makan bahkan makan dari karya mereka,” ujar Bayu Widodo, penggagas komunitas ini.

Menyatakan diri sebagai ruang alternatif komunitas sekaligus bengkel seni bagi seniman muda, komunitas yang lahir pada18 Oktober 2009 ini menampung para seniman independen dengan menyediakan tempat untuk pameran, pertunjukan, pemutaran film, diskusi dan workshop. Tak hanya itu, SURVIVE!GARAGE juga beraktivitas dalam bentuk karya woodcut, gambar ilustrasi, street art, dan tato.

Advertisement

Pria asal Lubuk Linggau, Sumatera Selatan ini mengisahkan keprihatinannya pada Kota Jogja yang kini macet dan padat. Dalam 18 tahun kehidupannya di Jogja, ia merasa Jogja kini semakin menyesakkan.

“Tidak bisa rileks lagi, sepeda yang adalah ciri khas Jogja juga terkucilkan, kecuali mungkin di daerah tepian,” ujar pria bertato ini.

Ia berpendapat jika kesemrawutan Jogja adalah buah dari ketidaksiapan manusia akan kebijakan yang dibuat sendiri. Meski mengamini keberadaan Jogja sebagai kota wisata, menurutnya pemerintah sebagai pengatur kebijakan harus mampu membatasi hotel dan menambah ruang terbuka.

Advertisement

Bayu tidak sedang ingin berlaku seperti kritikus, namun sebagai manusia khususnya seniman yang lama berdiam di Jogja, ia ingin melakukan sesuatu. “Desain ini adalah pertanggungjawaban dari proses kehidupan yang aku jalani,” ujar pria yang sebelumnya mengadakan pameran di Australia ini. Selain kebutuhan ekonomi, desain kritik sosial pada kaos yang adalah bahasa visual dipandangnya sebagai cara paling mudah menyampaikan karyanya.

Kaos dipilih karena menurutnya semua orang harus bisa merasakan seni bahkan dalam bentuk paling sederhana.

“Semoga orang bisa merasakan sesuatu dari karya-karyaku,” jelas lulusan institus Seni Indonesia (ISI) Jogja ini. Baginya seniman masa kini harus bisa menjelaskan karya-karya yang dibuatnya dan menjadi bagian dari lingkungannya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif