Pencatutan nama Jokowi-JK yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto tak kunjung selesai di MKD.
Solopos.com, JAKARTA — Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai Majelis Kehormatan Dewan (MKD) sesungguhnya telah dibajak oleh kepentingan fraksi-fraksi di DPR sehingga majelis itu kehilangan independensinya.
“Jika independensi MKD sudah digerogoti, maka lembaga tersebut sebenarnya telah secara meyakinkan kehilangan legitimasinya untuk menjadi penegak etik untuk kasus Setya Novanto ini,” kata dia di Jakarta, Selasa (1/12/2015).
Dia mengkhawatirkan apa yang sesungguhnya terjadi di MKD semakin menyingkapkan kebobrokan moral DPR. “Saya kira MKD ini menjadi penopang utama bagi perbaikan citra DPR. Akan tetapi harapan itu ternyata sirna,” sesalnya.
Di sisi lain, rakyat tidak memiliki mekanisme resmi mengintervensi proses politik di DPR, kendati bukan berarti rakyat tak mempunyai sarana dalam menekan parlemen.
“Sebagai institusi politik, eksistensi DPR ditentukan oleh kepercayaan masyarakat. Melihat DPR saat ini, hampir tak ada lagi alasan untuk tetap percaya pada kata dan perbuatan, serta kebijakan mereka. DPR sebenarnya sudah kehilangan kepercayaan, secara politik sebenarnya DPR sudah tidak ada,” kata Lucius.
Sejumlah fraksi mengganti anggotanya di MKD. Anggota MKD yang baru dari Fraksi Partai Golkar kembali mengungkit keabsahan posisi Menteri ESDM Sudirman Said sebagai pelapor dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Setya Novanto. Akibatnya, sidang MKD menjadi tertunda.
Ketua DPR Setya Novanto dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD atas dugaan melanggar kode etik dengan terlibat dalam proses renegosiasi perpanjangan kontrak Freeport Indonesia. Setya dituding mencatut nama Jokowi-JK serta disebut-sebut meminta saham Freeport. Kini MKD tengah berupaya menggelar persidangan atas dugaan pelanggaran etik itu, namun terkendala masalah legal standing Sudirman Said sebagai pelapor.