Kolom
Selasa, 1 Desember 2015 - 09:00 WIB

GAGASAN : Bahasa Wakil Rakyat

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (30/11/2015), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah pengelola Jagat Abjad Solo.

Solopos.com, SOLO — Debat, polemik, dan kontroversi sering bermula dari perbedaan pengertian. Di DPR, 24 November 2015, orang-orang terhormat itu tak berani melanjutkan sidang ihwal dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.

Advertisement

Sidang dihentikan akibat bersengketa untuk mengartikan kata “dapat”. Mereka berbeda pengertian tapi tak saling mengajukan argumentasi. Bahasa malah jadi persoalan rumit. DPR mengundang pakar bahasa bertujuan mendapat argumentasi atas pengertian “dapat”.

Di depan kaum yang terhormat itu, pakar bahasa bernama Yahya Bachria Mugnisjah mengemukakan pengertian “dapat” mengacu ke kamus. Pencantuman “dapat” dalam UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, dan DPD dan Peraturan DPR No. 2/2015 tentang Tata Beracara DPR perlahan mendapat penjelasan ringkas.

Di ruang politis, pengertian “dapat” dipahami bersama meski menimbulkan kejanggalan bagi publik. Pakar bahasa itu mengartikan “dapat” adalah “boleh”. Penjelasan berlanjut, “boleh” berarti “diizinkan” atau “tidak dilarang”.

Advertisement

Di koran-koran berita tentang penjelasan itu cuma memuat informasi Yahya menggunakan Kamus Bahasa Indonesia (Kompas, 25 November 2015). Sebutan itu membuat bingung. Di Indonesia, pemerintah menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Pada masa lalu kita menggunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta. Saya terpaksa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan 2014. Di halaman 293, “dapat” berarti mampu, sanggup, bisa, menerima, memperoleh, ditemukan, tertangkap, berhasil, tercapai.

Di kamus edisi terbaru itu saya tak menemukan “boleh”. Apakah pakar bahasa itu menggunakan kamus lawas? Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) halaman 136, ”dapat” berarti boleh, bisa, sanggup, mungkin, beroleh, kena.

Di kamus terbaru, “boleh” itu hilang. Barangkali hal itu jadi urusan pelik. Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) harus mengundang pakar bahasa agar urusan jadi beres. Apakah perpustakaan di Gedung DPR/MPR tak memiliki koleksi kamus-kamus?  Konon, ribuan buku ada di perpustakaan untuk jadi bacaan anggota legislatif.

Advertisement

Para politikus itu bisa menggunakan koleksi di perpustakaan agar tak selalu meragu atau kebingungan. Keputusan jadi politikus mesti berkamus, bukti peka dan sadar bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru memang berharga mahal, Rp300.000 lebih.

Harga itu tak terlalu mahal bagi anggota DPR. Para anggota DPR juga pantas memiliki koleksi pribadi, tak mesti tergantung pada koleksi perpustakaan. Kita mengandaikan di meja kerja mereka ada tumpukan kamus-kamus.

Barangkali ketekunan membuka halaman-halaman kamus membuat kemampuan berbahasa meningkat dan membuktikan martabat diri sebagai politikus saat memberi komentar-komentar.

Kita sering prihatian saat anggota DPR berbicara “sembarangan” dan “mengacaukan” makna akibat tak rajin membaca kamus atau belajar buku-buku kebahasaan. Mengapa keterangan sederhana dan ringkas dari pakar bahasa harus diadakan dalam rapat konsultasi MKD?

Advertisement

Apakah mereka tak pernah memiliki pengalaman berkamus? Apakah mereka rawan “gagal” dalam membaca undang-undang dan peraturan berbahasa Indonesia? Kita gampang mengingat kefasihan mereka menggunakan bahasa Inggris saat berpolitik.

 

Malas Belajar
Pada urusan pengertian “dapat”, mereka malah kelimpungan dan menanggung ketidaktahuan (atau pura-pura tidak tahu?). Sidang dengan meminta keterangan pakar bahasa itu terasa tak lazim. Kita menduga (anggota) DPR memiliki 1.000 persoalan berkaitan bahasa.

Rapat untuk mengurusi pengertian “dapat” adalah bukti kemalasan belajar bahasa dan keengganan bermesraan dengan kamus. Pengertian “dapat” sudah dijelaskan dan menjadi dalih sidang pelanggaran etik Setya Novanto berlanjut.

Advertisement

Bagi pakar bahasa, Sudirman Said (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) itu anggota masyarakat, memiliki hak dapat membuat pengaduan ke MKD. Urusan “dapat” sudah selesai tapi urusan-urusan lain tetap gampang jadi polemic dan kontroversi.

Kita tak usah terkejut. Di DPR, kontroversi itu lumrah. Kontroversi, pertentangan, perbedaan pendapat mirip rangsangan kerja politik atau sejenis “hiburan” untuk pamer kesaktian ilmu berpolitik. Berdebat, berpolemik, dan berkontroversi tentu menggunakan bahasa. Barangkali bahasa mereka bakal berantakan jika tak pernah membuka kamus bertujuan memastikan pengertian kata.

Kita bisa menganjurkan agar mereka senantiasa membawa kamus edisi saku, tindakan beradab agar mencapai kemenangan dalam perdebatan. Kita tak ingin melulu mengurusi kamus di DPR. Kita mendingan mengingat masa lalu.

Sejak ratusan tahun silam, kedatangan bangsa-bangsa asing ke Nusantara memicu penggarapan kamus. Kaum politik, militer, saudagar, pendakwah, dan ilmuwan sangat memerlukan penguasaan bahasa lokal demi kelancaran misi.

Mereka belajar bahasa-bahasa di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku, dan Papua. Bahasa adalah “senjata” dan “suluh” untuk menunaikan pelbagai kerja besar. Mereka perlahan membuat catatan-catatan, berlanjut menjadi kamus.

Penggarapan kamus biasa disokong pemerintah kolonial, institusi agama, jaringan saudagar, dan para peneliti. Kamus jadi bekal untuk kekuasaan, mengeruk untung, berdakwah, dan kemajuan ilmu.

Advertisement

Di Indonesia, pembuatan kamus oleh orang-orang asing menjelaskan kepentingan ganda. Bangsa-bangsa asing ingin mengerti realitas Nusantara dan menguasai. Kamus itu pijakan kekuasaan. Kemampuan menguasasi bahasa berarti memungkinkan kolonialisme-kapitalisme.

Kamus-kamus terus dibuat dan dipelajari saat bumiputra masih kesulitan memilih bahasa “persatuan” untuk melawan penjajah. Pada 1928, bahasa persatuan itu terpilih. Bahasa Indonesia jadi bahasa dalam ekspresi kemodernan, nasionalisme, dan identitas-kultural.

Pilihan itu semakin menjadikan pembuatan kamus turut menentukan pembentukan Indonesia. Para tokoh perkamusan di Indonesia: Sasrasoegonda, E. Harahap, Sutan Mohammad Zain, dan Poerwadarminta.

Mereka menunaikan tugas besar agar berbangsa-bernegara bisa terpahamkan dengan penggunaan bahasa dan kesadaran atas pengertian mengacu ke kamus-kamus.

Kini, warisan kamus-kamus berjudul Kamus Indonesia (1942) oleh E. Harahap, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) oleh Poerwadarminta, dan Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1952) oleh Sutan Mohammad Zain mungkin telah dilupakan, terkubur dalam sejarah kekuasaan.

Sekian kamus itu jadi acuan dalam penggarapan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus resmi terbitan pemerintah itu bertambah tebal dalam setiap penerbitan edisi baru. Kerja besar demi Indonesia sudah dibuktikan meski para politikus tak sempat atau malas membaca kamus-kamus.

Kita maklum jika MKD bingung dalam mencari pengertian “dapat” agar bisa disepakati bersama untuk kelanjutan sidang pelanggaran etik pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Ketua DPR.

Kita menduga kamus tak dianggap penting aleh kaum politik di DPR. Peremehan berakibat kebingungan dan kerancuan dalam berbahasa dan berpolitik. Kita berharap kaum politik lekas berkamus. Kita malah ikhlas iuran membelikan kamus jika mereka pelit menggunakan gaji untuk peningkatan kemahiran berbahasa.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif