Kolom
Minggu, 29 November 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Skandal Freeport dan Economic Hit Man

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Beni Sindhunata (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (27/11/2015), ditulis Beni Sindhunata. Penulis adalah pendiri Investment and Banking Research Agency (Inbra).

Solopos.com, SOLO — Sepanjang sejarah divestasi saham penanaman modal asing (PMA) pertambangan selalu muncul kegaduhan yang melibatkan elite politik dari istana, parlemen, partai politik, korporasi swasta, birokrat daerah, dan demonstrasi.

Advertisement

Saham minoritas yang wajib divestasi itu laksana sepotong kue raksasa dan perlu dimiliki demi kemaslahatan rakyat (pengakuan). Seakan-akan negeri berusia 70 tahun yang sudah bereformasi 17 tahun lalu dan dalam tiga tahun empat kali mengamendemen UUD ‘45 belum bisa berubah ke arah lebih baik.

Seluruh elite politik lancar dan hafal luar kepala semua kalimat dari Pasal 33 UUD ‘45 dan tidak lupa menutupnya dengan frasa ”demi kesejahteraan rakyat”. Faktanya, kegaduhan dan kisruh serupa terus berulang yang kemudian sepi.

Itulah yang terjadi pada program divestasi saham Newmont Nusa Tenggara, Inalum, kini Freeport Indonesia (FI), dan mungkin Vale Indonesia (dahulu Inco) yang dijadwalkan pada 2025.

Advertisement

Kekisruhan bisa terjadi karena banyaknya pihak yang terlibat. Pemda yang ingin masuk tapi kekurangan modal akhirnya bermitra dengan swasta nasional mendirikan perusahaan investasi baru. Investment company inilah yang jadi wakil  pemerintah daerah dalam mengakuisisi saham minoritas tersebut.

Divestasi Inalum berlangsung relatif lancar. Pemerintah membeli semua saham divestasi milik PMA (58,9% dengan harga US$558 juta pada Oktober 2013). Kini pemerintah pemilik 100% saham Inalum dan berstatus badan usaha milik negara (BUMN) murni. Program akuisisi saham divestasi di Inalum bisa menjadi preseden baik bagi program divestasi mendatang.

Pada kasus Newmont, kisruh pemilikan saham berlangsung alot dan panjang di samping masalah operasionalnya (karena larangan ekspor konsentrat). Pemilik saham terbesar akhirnya menggugat pemerintah ke International Center for The Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang kemudian dicabut (Agustus 2014).

Kisruh menjelang program divestasi ini mencerminkan wajah atau iklim investasi pertambangan nasional yang pada 2013 berada di peringkat terendah, peringkat ke-96 di Policy Potential Index, Fraser Institute, dari Kanada.

Advertisement

Peringkat ini memburuk dari 2009 di peringkat ke-62, ke-70, dan ke- 85, lebih buruk daripada Venezuela atau Finlandia yang terbaik. Sepekan terakhir publik menyaksikan bertebarannya dokumen penting, surat elektronik, dan rekaman penyadapan terkait dengan divestasi saham Freeport Indonesia.

Perang dokumen ini kian menguak praktik dan perilaku elite politik, swasta nasional, dan multinational corporation (MNC). Sepanjang deal raksasa ini selalu ada jejak langkah para broker domestik maupun global dan berpengaruh yang memiliki koneksi global sampai elite tertinggi negara maju maupun berkembang. Mereka adalah kelompok orang atau profesional yang oleh John Perkins disebut economic hit man (EHM). [Baca selanjutnya: Crapitalism]

 

Crapitalism
Para EHM tidak peduli dengan visi politik negara, yang penting mereka memperoleh keuntungan. Sebagian bersikap apolitis. Tidak mengherankan jika sekarang jadi musuh dan di kemudian hari jadi mitra.

Advertisement

Negara dengan jajaran birokrasi yang korup, tertutup, dan jauh dari transparansi menyuburkan crapitalism (ketika kapitalis, birokrasi, dan kroni  bersinergi) di belakang panggung.

Ini merupakan habitat paling subur bagi beroperasinya para EHM. Ingar-bingar yang akan kian panjang dan lebar ini baru awal dari sebuah perkisahan panjang yang bagaimanapun perlu dan harus berkesudahan di meja pengadilan.

Untuk mengantisipasi program divestasi saham negara di PMA pada masa depan sebaiknya pemerintah membeli atau mengakuisisi semua saham divestasi tersebut sehingga hanya ada dua mitra, yakni negara dan mitra asing tersebut, tanpa ada pemegang saham minoritas lainnya.

Semakin banyak mitra terlibat perundingan maka semakin besar potensi runyam. Setelah proses ini selesai menjadi BUMN murni, baru dipertimbangkan berbagai coporate action selanjutnya apakah initial publik offering (IPO), divestasi ke BUMN sektoral terkait, atau alokasi ke pemerintah daerah.

Advertisement

Pemerintah mewakili negara harus tegas dan menjadi lokomotif tunggal, terdepan, menyiapkan dana akuisisi. Solusi divestasi pola Inalum menjadi preseden baik di masa depan.

Dalam konteks pengembangan dan pendayagunaan mineral tambang dan minyak serta gas (migas) nasional, pemerintah perlu bersikap lebih kuat dalam negosiasi kontrak pertambangan, termasuk renegosiasinya, serta menghilangkan dan menghindari kebijakan tumpang tindih, inkonsistensi izin ekspor, dan berbagai kewajiban lainnya.

Sebagai pemilik aset dari harta karun yang akan dikelola tersebut, tentu negara memiliki daya tawar yang kuat. Negara akan lemah atau tersudut jika terjadi perselingkuhan antara elite politik dengan perusahaan multinasional yang jauh dari transparansi.

Sebagai contoh program divestasi PT FI. Perlu disepakati dulu bahwa memang Indonesia butuh FI yang sejatinya bisa berkontribusi bagi ekonomi nasional dan juga jadi lokomotif ekonomi daerah. Sebaliknya, FI juga butuh gunung emas dan perak di Grasberg, Papua.

Harta karun di Papua ini pada 2014 menyumbang 14,3% penghasilan Freeport McMoran (FCX), emiten raksasa di New York. Kontribusi turun dari 19,5% pada 2013 yang mencapai hampir US$4 miliar, di antaranya terdampak kecelakaan di Grasberg.

Afiliasinya di Indonesia ini jadi kontributor ketiga terbesar bagi FCX setelah Amerika Utara dan Amerika Latin. Dirinci per jenis mineral, FI menyumbang 93% produksi emas dan 16% produksi tembaga FCX.

Advertisement

Lainnya dari Amerika Utara, Amerika Latin, dan Afrika. Tembaga dan emas jadi harta karun di samping mineral ikutan lain. Ini sebagian fakta lain yang bicara.

Di  panggung nasional pada 2013, Investment and Banking Research Agency (Inbra) mencatat dari 100 korporasi nasional terbesar (di luar jasa keuangan dan perbankan), FI dengan pendapatan US$3,7 miliar setara Rp45,7 triliun menjadi perusahaan ke-7 terbesar di Indonesia pada 2013.

Ini hanya seperempat penghasilan Astra International, lebih kecil dari dua raksasa rokok dan mi instan. Jauh di bawah Pertamina yang 20 kali lebih besar.

Tahun politik 2019 akan menentukan bagaimana nasib kontrak karya yang akan berakhir pada 2021 dan publik  akan menyaksikan lagi perkisahan episode baru yang lebih seru.

Bermula dari rencana parlemen merevisi UU  No. 4/2009 sebagai dasar untuk memperpanjang atau mengakhiri kontrak, tergantung pemerintah mau melangkah ke mana dan memastikan apakah enam syarat perpanjangan kontrak sudah direalisasi tepat  jumlah dan tepat waktu. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif