Jogja
Kamis, 26 November 2015 - 21:20 WIB

PILKADA BANTUL : Persoalan Desa Menanti Kepala Daerah

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Diskusi Pilkada (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Pilkada Bantul, untuk tiap paslon diharapkan mampu menjawab kebutuhan warga.

Harianjogja.com, JOGJA– Calon bupati dan calon wakil bupati Bantul yang akan bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 dituntut melakukan sejumlah pembenahan dalam pembangunan desa di wilayah ini.

Advertisement

Dorongan itu mengemuka dalam Diskusi bertajuk “Kemandirian Desa di Bantul” yang digelar di Kantor Harian Jogja, Rabu (25/11/2015). Diskusi yang diselenggarakan Institute for Research and Empowerment (IRE) bekerjasama dengan redaksi Harian Jogja itu dihadiri calon wakil bupati Bantul nomor urut satu Abdul Halim Muslih dan calon wakil bupati nomor urut dua Misbakhul Munir.

Sejumlah persoalan desa di Bantul dipaparkan baik oleh calon wakil bupati maupun dari Direktur IRE Jogja Sunaji Zamroni yang melakukan riset atas kondisi aktual desa di Bantul. Abdul Halim Muslih menyatakan, berlakunya Undang-undang Desa No.6/2014 disertai keleluasaan bagi desa mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Lembaga ini berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan menambah penghasilan desa. Kendati demikian kata dia, pemerintah desa jangan gegabah dalam mendirikan BUMDes. “Harus disertai dengan survey kelayakan pasar, sumber daya dan lainnya. Jangan sampai pemerintah desa hanya meninggalkan monumen-monumen bisnis yang mangkrak,” tegas Abdul Halim Muslih yang saat Pilkada nanti berpasangan dengan calon bupati Suharsono itu.

Advertisement

Di sisi lain, Calon Wakil Bupati Bantul Misbakhul Munir yang berpasangan dengan Sri Suryawidati optimistis pada kemampuan aparat desa saat ini. “Kawan-kawan di desa sudah paham tentang pengelolaan keuangan desa,” kata Misbakhul Munir.

Sejak Undang-undang Desa digulirkan, desa menerima anggaran Rp2 miliar hingga Rp3 miliar tiap desa. Desa menurutnya tidak lagi menjadi penonton pembangunan tapi pelaku pembangunan.

Direktur IRE Sunaji Zamroni menyebutkan hasil riset kondisi desa di Bantul. Ia menilai lalainya pemerintah Kabupaten Bantul membuat aturan tegas tentang kewenangan desa. “Salut untuk Bantul yang bisa membuat delapan peraturan daerah dan 14 peraturan bupati. Tapi regulasi yang paling subtansi apa saja kewenangan desa misalnya dalam proyek pembangunan itu tidak ada,” kritik Sunaji.

Advertisement

Sejumlah peserta yang hadir dalam diskusi juga tidak ketinggalan menyampaikan sejumlah persoalan yang harus diselesaikan oleh pimpinan daerah nanti. Misalnya harapan bagaimana desa yang mandiri mampu mengatasi masalah kelompok marginal seperti kaum perempuan dan para petani yang lahannya kini dialihfungsikan sebagai perumahan.

“Tahun sebelumnya Bantul itu dipimpin perempuan, Ketua DPRD nya juga perempuan bahkan polisi hingga jaksa. Tapi nyatanya keberpihakan pada kalangan perempuan tidak terlihat. Di Bantul itu mayoritasnya perempuan, tapi kebanyakan mereka hanya bekerja sebagai buruh serabutan. Perempuan yang buta huruf di Bantul itu banyak,” tutur Reni yang lembaganya melakukan pendampingan di komunitas perempuan di tujuh kecamatan di Bantul.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif