Jogja
Kamis, 26 November 2015 - 18:20 WIB

HARI GURU : Gara-gara Maling Sepeda, Tawaran Jadi Wakil Rakyat Ditampik

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Siswo Wiyoto Kadilan (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Hari guru dapat diperingati dengan berbagai cara, termasuk mempelajari kehidupan tenaga pengajar untuk memotivasi generasi muda.

Harianjogja.com, BANTUL-Salah satu guru tertua di Kabupaten Bantul mengenang kembali perjalanannya menjadi tenaga pengajar. Berawal dari kehilangan sepeda, dia dihormati karena kemampuannya mengajarkan bahasa Jawa.

Advertisement

Wajahnya tergeragap saat menerima tamu di teras belakang rumahnya di Dusun Tangkil, Desa Srihardono, Pundong, Bantul, Selasa (25/11/2015). Majalah berbahasa Jawa Joko Lodhang langsung dia tutup. Ia berdiri membalas salam.

“Nama saya Siswo Wiyoto Kadilan. Biasa dipanggil Sis Kadilan,” tuturnya dalam bahasa Jawa yang halus dan sopan.

Perawakan Sis Kadilan, kakek berusia 82 tahun itu seperti lazimnya orang sepuh. Kulit keriput, langkah renta, serta susunan gigi yang tak lagi lengkap adalah pertandanya. Sementara, cara bicaranya tegas dan jelas. Ingatannya masih tajam dan wawasannya membentang luas.

Advertisement

Ketajaman otaknya itu bukan tanpa alasan. Sejak menjadi guru 64 tahun lalu, tak pernah ia melewatkan waktu untuk membaca dan belajar. Terutama materi pelajaran yang akan ia ajarkan kepada para siswanya.

“Kebiasaan itu tetap saya lakukan sampai sekarang,” ujar dia.

Tercatat sebagai salah satu guru tertua di Bantul, kakek yang mahir menjahit itu ternyata sama sekali tak memiliki cita-cita sebagai tenaga pendidik. Dia menjadi guru karena pilihan yang tak disengaja.
“Semua berawal ketika saya kehilangan sepeda.”

Pada 1955, ketika masih tinggal bersama bibinya di Bangirejo, ia terpaksa mengubur mimpi untuk melanjutkan sekolah tingkat pertama  umum  seperti kawan-kawannya yang lain. Alasannya sederhana, sepeda yang menjadi alat transportasi satu-satunya, hilang digondol maling. Dia pun tak punya pilihan selain belajar di sekolah yang berlokasi dekat dengan rumahnya.

Advertisement

Sekolah Guru B (SGB), satu-satunya sekolah yang ada pun ia pilih. Mulanya, ia tak tahu apa itu SGB. Ia hanya tahu dirinya harus memilih sekolah yang lokasinya tak jauh dari rumah.

Saat mendaftar, ia disodori selembar kertas yang berisikan kontrak kerja sama mengajar di tingkat Sekolah Rakyat (SR). Tak hanya itu, ia pun terkejut ketika mengetahui semua siswa di sekolah itu harus tinggal di asrama.

“Tapi bagaimana lagi, saya kan harus sekolah.”

Dua tahun berikutnya, ia pun mendapatkan pekerjaan pertamanya, sebagai guru kelas VI di SR Kalidadap, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri. Itu pun sama sekali bukan hal yang ia rencanakan, melainkan tuntutan dari lembar kontrak kerja sama yang telah ia tanda tangani saat pertama mendaftar di sekolah itu.

Advertisement

Meski begitu, ia tetap berusaha mencintai pekerjaan pertamanya itu. Salah satu alasan yang ia pakai sebagai motivasi adalah sepeda.

“Saya ingin beli sepeda baru. Ternyata dari gaji Rp150 yang saya kumpulkan, saya bisa membelinya dengan harga Rp300 ketika itu,” kenangnya girang.

Dari pekerjaan itulah, ia pun semakin yakin masa depannya adalah sebagai seorang tenaga pendidik.  Sis Kadilan selalu mendapatkan tawaran bekerja sebagai guru di beberapa sekolah. Beragam jenjang sekolah sudah ia jajal, hingga akhirnya kini ia mengabdi di SMA Negeri 1 Pundong. Pada 1980 lalu, ia sempat menduduki jabatan sebagai penilik kebudayaan sekolah untuk wilayah Bambanglipuro dan Jetis.

“Saya juga pernah ditawari jadi anggota DPRD Bantul juga dan Kasi [Kepala Seksi] Kebudayaan Pemkab Bantul. Tapi saya tolak. Saya jadi guru saja,” bangganya.

Advertisement

Kemampuannya bermain gamelan dan berbahasa Jawa juga tak pelak menjadi salah satu senjata utamanya untuk bertahan sebagai tenaga pendidik.  Hampir sebagian besar pengabdiannya ia habiskan sebagi guru kesenian tradisional.

“Di luar mengajar di sekolah, saya kerap diminta melatih dan mendampingi kelompok-kelompok seni di DIY,” akunya.

Selama 64 tahun mengajar, tentunya sudah tak terhitung berapa ratus siswa yang telah ia didik. Tak sempat dicatatnya pula, siapa saja yang sukses dan siapa yang gagal.

Dengan fasih ia menyebutkan beberapa nama mantan muridnya yang kini sudah sukses, mulai dari kepala sekolah, hingga pengusaha. Bagi kakek dengan delapan anak, 17 cucu, dan tiga cicit itu, melihat mantan anak didiknya menemukan hidup yang jauh lebih baik sudah cukup membahagiakan.
“Saya tak minta apa-apa. Tapi saya cukup beruntung, saat Lebaran, beberapa di antara mereka sering datang ke sini untuk silaturahmi.”

Sayangnya, ia sadar, pengabdiannya di dunia pendidikan sudah mendekati ujungnya. Di benaknya, ia sudah membayangkan akan beralih pekerjaan menjadi penjahit dan pelatih kesenian.

“Saya malu kalau harus terus mengajar. Sudah waktunya diganti oleh yang muda,” katanya.

Advertisement

Kepala SMA Negeri 1 Pundong, Sartono mengatakan pengabdian Kadilan di SMAN 1 Pundong sejak 1998 itu tak akan pernah bisa dilupakannya.

Bagi Sartono, jasa Kadilan sangat besar, terutama dalam membentuk dan membangun karakter para siswanya lewat pelajaran Bahasa Jawa.

“Itulah yang diajarkan Pak Kadilan. Beliau adalah guru teladan. Semua siswa menyukai cara mengajarnya,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif