News
Jumat, 6 November 2015 - 06:30 WIB

SUKU BUNGA BANK : Ekonomi Belum Stabil, BI Rate Belum Tentu Turun

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi layanan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di perbankan. (JIBI/Solopos/Antara)

Suku bunga bank diharapkan bisa turun seiring deflasi beruntun. Namun bank sentral belum tentu menurunkan BI rate.

Solopos.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) diyakini akan berhati-hati sebelum menurunkan suku bunga lantaran situasi global yang belum menggembirakan. Selain itu, pemerintah masih harus terus menggenjot belanja infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan perekonomian.

Advertisement

Senior Rates Strategist Asia ANZ Bank, Kumar Rachapaudi, mengatakan indeks harga konsumen yang mencapai -0,06% sekaligus melanjutkan periode deflasi beruntun dalam dua bulan terakhir. Hal itu membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan dengan cara menurunkan suku bunga.

“Benar sekali deflasi beruntun ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia. Tapi seperti kita ketahui situasi global belum stabil sehingga saya meyakini bank sentral pasti akan lebih bijak dalam mengeluarkan keputusan,” ujarnya Kamis (5/11/2015).

Advertisement

“Benar sekali deflasi beruntun ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia. Tapi seperti kita ketahui situasi global belum stabil sehingga saya meyakini bank sentral pasti akan lebih bijak dalam mengeluarkan keputusan,” ujarnya Kamis (5/11/2015).

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dipengaruhi oleh transformasi China menjadi negara dengan ekonomi yang berorientasi pada sektor konsumsi. Selain itu dipengaruhi pula oleh penurunan harga komoditas serta ketidakjelasan rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga.

Dia melanjutkan, sebagai negara yang memiliki pengaruh terhadap perekonomian Indonesia, pertumbuhan ekonomi China akan tetap melambat dan diperkirakan hanya tumbuh sebesar 6,8% pada 2015 dan 6,3% pada tahun berikutnya. “Seperti yang kita ketahui Pemerintah China telah menerapkan pelonggaran untuk melakukan stabilisasi ekonomi dengan menekan nilai tukar mata uang dan tingkat imbal hasil surat utangnya,” ujarnya.

Advertisement

Secara historis, deflasi Oktober tahun ini juga menjadi yang kali pertama kali dalam sejak 2012. Meski tergolong bulan inflasi rendah, terakhir kali Indonesia mencatatkan deflasi bulan sepuluh adalah pada 2011 sebesar 0,12.

Adapun, risiko justru datang dari inflasi inti yang secara tahunan merangkak jadi 5,02%, sekalipun secara bulanan turun menjadi 0,23%. Dengan demikian, realisasi inflasi umum sepanjang tahun ini sebesar 2,16% atau jauh di bawah target bank sentral 4% +/- 1%.

Terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan Bank Indonesia tidak bisa mengambil risiko memicu pelemahan rupiah dengan menurunkan suku bunga. Dia juga mendukung BI berhati-hati dalam menetapkan kebijakan. Dia mengatakan BI juga perlu memperhitungkan angka inflasi dan ketidakpastian rencana kenaikan suku bunga Federal Reserve AS.

Advertisement

“Stabilitas mata uang sangat penting bagi kami. Hal ini berarti bahwa kita tidak bisa mengambil risiko dengan hanya memotong suku bunga sementara hal itu bisa membahayakan stabilitas nilai tukar kami,” ungkapnya.

Sejauh ini rupiah telah jatuh sekitar 9% terhadap dolar sekaligus menjadi mata uang terburuk kedua di belakang ringgit. Mata uang Garuda sempat menyentuh level terendah dalam 17 tahun terakhir pada September, dan kemudian melonjak 7% pada Oktober.

Bank Indonesia dijadwalkan akan menggelar pertemuan pada 17 November. Bulan lalum, lembaga moneter itu menyatakan ada ruang untuk melonggarkan kebijakan setelah kenaikan mata uang dan sebagai peluang penurunan dari kenaikan tarif Federal Reserve 2015.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif