Teknologi
Rabu, 4 November 2015 - 00:00 WIB

KABUT ASAP : Asap Kebakaran Hutan Tingkatkan Efek Gas Rumah Kaca

Redaksi Solopos.com  /  Haryo Prabancono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Foto udara kebakaran lahan di kawasan Kabupaten Banyuasin, Sumsel, Selasa (20/10/2015). Berdasar pantauan satelit Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menemukan 654 titik panas berada di Sumatra Selatan. (JIBI/Solopos/Antara/Nova Wahyudi)

Kabut asap yang melanda Kalimantan dan Sumatra menimbulkan efek gas rumah kaca.

Solopos.com, JAKARTA — Kabut asap masih melanda sebagian wilayah Indonesia. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan bisa meningkatkan efek gas rumah kaca yang merusak iklim.

Advertisement

Menurut ahli rekayasa hujan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Tri Handoko Seto, tak hanya kerugian ekonomi akibat dampak kabut asap di Sumatra dan Kalimantan, tetapi juga berimbas terhadap makhluk hidup dan perubahan iklim.

“Dampaknya ya perubahan iklim makin parah, belum lagi keanekaragaman hayati makin berkurang,” ungkap Tri Handoko Seto, seperti dikutip dari Okezone, Selasa (3/11/2015).

Advertisement

“Dampaknya ya perubahan iklim makin parah, belum lagi keanekaragaman hayati makin berkurang,” ungkap Tri Handoko Seto, seperti dikutip dari Okezone, Selasa (3/11/2015).

Lebih dari 1 miliar ton karbon dilepaskan ke atmosfer, diperkirakan melebihi emisi karbon di Amerika Serikat yang merupakan negara dengan emisi karbon terbesar kedua setelah Tiongkok.

Dengan meningkatnya emisi karbon di udara, maka hal ini akan meningkatkan efek gas rumah kaca. “Semakin banyak karbon yang diemisi makin memperparah efek gas rumah kaca,” tuturnya.

Advertisement

Apabila gas tersebut berlebihan di atmosfer, akan menimbulkan pemanasan global. Pada tingkat tertentu, efek rumah kaca ini diperlukan oleh makhluk hidup yang ada di Bumi. Karena tanpa efek rumah kaca ini, maka planet akan menjadi sangat dingin.

Teknologi Modifikasi Cuaca

Para ahli internasional meyakini bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia saat ini, tidak bisa ditanggulangi kecuali dengan hujan.

Advertisement

BPPT sebagai satu-satunya pemilik teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau yang dikenal hujan buatan telah, sedang, dan akan terus melakukan upaya besar untuk menerapkan teknologi hujan buatan. “Kami telah berusaha dan berupaya melakukan sistem teknologi ini,” ujar ahli rekayasa hujan dari BPPT tersebut.

Sementara itu, dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan BPPT, Heru Widodo, mengatakan kabut asap pekat bukan hanya berbahaya bagi manusia, tetapi juga menyulitkan proses terjadinya hujan.

“Kabut asap pekat menghalangi radiasi masuk ke permukaan bumi, akibatnya suhu tidak cukup hangat untuk membuat labil profil udara suhu vertikal yang menjadi media terbentuknya awan dan kondensasi. Akhirnya awan sulit terbentuk dan hujan tidak bisa terjadi,” ujarnya.

Advertisement

Awan di wilayah yang asapnya pekat akan berebut uap air yang menyebabkan awan selalu berada di fase mula yang butirannya sangat kecil yakni sekitar dua mikron sehingga proses hujan sulit terjadi, ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengemukakan, TMC sangat penting mengubah awan dari fase mula ke fase matang dengan cara menabur bahan semai natrium chlorida (NaCl) berukuran 10- 50 mikron yang akan meningkatkan efisiensi penumbukan dan penggabungan yang merupakan kunci dari proses hujan.

“Awan pada fase mula memiliki efisiensi tumbukan dan penggabungan di bawah 10%, tapi dengan disemai efisiensi meningkat menjadi 80%,” katanya.

Saat ini lebih dari 1,7 juta hektare hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan telah terbakar dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah serta membuat lebih dari satu miliar ton karbon dilepaskan ke atmosfer dan mencemari udara.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif