Kolom
Rabu, 4 November 2015 - 11:15 WIB

GAGASAN : Apa Pentingnya Debat Terbuka Pilkada?

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Awhan Satriyo (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (4/11/2015), ditulis Awhan Satriyo. Penulis adalah warga Sukoharjo dan wiraswasta sekaligus pendidik. Penulis merupakan alumnus Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah  Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Bentrok dua kelompok mewarnai debat publik dua pasang calon bupati dan calon wakil bupati Boyolali yang akan berlaga dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember mendatang.

Advertisement

Dua pasang calon bupati dan calon wakil bupati Boyolali itu adalah Seno Samodro-M. Said Hidayat dan Agus Purmanto-Sugiyarto. Debat publik itu sempat diwarnai aksi saling lempar batu antarkedua pendukung. Debat itu digelar di Gedung Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Boyolali, Sabtu, 31 Oktober 2015.

Kejadian ini menyusul debat calon bupati dan calon wakil bupati yang bersaing dalam pilkada di Wonogiri yang berlangsung pada 8 Oktober 2015 lalu yang berakhir dengan kericuhan. Terjadi adu jotos dari pendukung kedua kubu.

Debat putaran kedua dalam tahapan pilkada di Wonogiri akhirnya dibatalkan. Tujuan debat sebagai ajang komunikasi serta adu visi dan misi kontestan pilkada malah berakhir perpecahan. Ironis.

Advertisement

Menjelang pilkada serentak 9 Desember, masyarakat pemilih disuguhi acara debat antarkontestan. Di Soloraya tercatat enam kota/kabupaten yang punya hajat pilkada serentak 9 Desember mendatang, yaitu Solo, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, dan Sragen.

Acara ini mendapat perhatian serius dari berbagai media massa. Harian Solopos mengulas secara bersambung rangkuman debat calon bupati dan calon wakil bupati Klaten yang berlangsung pada 9 Oktober 2015 lalu.

”Debat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.Di acara ini kontestan pilkada saling memberikan wacana kepemimpinannya ke depan, adu visi dan misi, serta adu cerdas dalam menyikapi persoalan.

Debat menjadi rangkaian dari ritual dan instrumen penting pra-pilkada serentak 9 Desember mendatang. Komunikasi  antara rakyat dan calon pemimpin yang akan berkuasa lima tahun mendatang diharapkan bisa terjalin dengan kegiatan ini.

Advertisement

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sebuah kesempatan sebelum pemilihan presiden pada 2014 pernah mengemukakan lobi-lobi politik membangun koalisi dan mencari calon pemimpin yang ketika itu  mendominasi wacana publik adalah sesuatu yang penting.

Tentu ada hal yang lebih penting, yaitu komunikasi calon pemimpin dengan rakyat. Demokrasi akan makin matang jika rakyat memilih calon pemimpin secara rasional, bukan emosional, apalagi hanya ikut-ikutan. Debat terbuka menjadi solusi.

Dari debat terbuka ini para kontestan dapat menyampaikan visi dan misi dan yang terpenting dapat dijadikan kesempatan membangun kontrak sosial dengan masyarakat. Debat  dalam pilkada sejatinya adalah prosesi turunan dari aturan debat pemilihan presiden.

Debat ini diatur  Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.  Di Indonsia debat kali pertama digelar pada pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Itu pun berlangsung bukan dalam forum resmi, namun karena secara kebetulan media televisi dapat mempertemukan secara bersamaan para kandidat, kemudian digelar debat.

Advertisement

Aturan baku baru dibuat pada 2008 oleh KPU. Jika mengacu negara rujukan debat, Amerika Serikat (AS),  tentu masih banyak sekali kelemahan di negeri kita. Amerika Serikat telah melakukannya sejak 1960.

Waktu itu  senator Partai Demokrat, John F. Kennedy, memenangi pemilu mengalahkan wakil presiden dari Partai Republik, Richard Nixon. Aturan debat diatur sedemikian matang. Tema debat telah ditentukan jauh hari.  Pemilihan moderator, durasi, tempat, dan rundown acara diatur setahun sebelum pelaksanaan debat.

Para kandidat telah siap dengan konsep kerangka jawaban berdasarkan visi dan misi yang mereka jual kepada rakyat.  Yang patut digarisbawahi, budaya mereka permisif terhadap padudon, saling sindir, bahkan dengan ejekan atau kecaman.  Tak perlu heran jika debat menjadi seperti pertarungan tinju di ring, ada yang bisa menang dengan knock out atau KO. [Baca: Budaya Timur]

 

Advertisement

Budaya Timur
Mari kita tengok pelaksanaan acara debat pilkada di Soloraya. Debat calon bupati dan calon wakil bupati Sukoharjo peserta pilkada 2015 di The Park Mall, Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Sabtu, 3 Oktober 2015, belum mampu memperlihatkan kapasitas dan kapabilitas masing-masing pasangan calon.

Penantang pasangan petahana Wardoyo Wijaya-Purwadi, yaitu Nurdin-Anis Mudhakir, belum memiliki pengalaman di birokrasi sehingga lemah dalam menjawab pertanyaan seputar itu.

Suasana adem ayem menyelimuti debat calon wali kota dan calon wakil wali kota Solo putaran pertama di The Sunan Hotel, Jumat, 9 Oktober 2015, malam. Konfrontasi yang biasa terjadi di acara debat praktis tak terlihat di antara pasangan Anung Indro Susanto-M. Fajri (Afi) dan F.X. Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo.

Para pasangan calon bupati dan calon wakil bupati dalam pilkada di Klaten terlibat saling serang saat debat yang digelar KPU Kabupaten Klaten di Gedung Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Klaten. Pasangan calon bupatri dan calon wakil bupati Sri Hartini-Sri Mulyani, satu-satunya kontestan perempuan, lebih banyak membaca teks dalam menyampaikan visi dan misi serta saat tanya jawab antarkontestan.

Moderator tak luput mendapat kritik karena kurang tegas dalam membawakan acara. Di Sragen empat calon bupati (cabup) saling sindir dalam debat terbuka yang KPU Sragen di Gedung Kartini Sragen, Rabu, 28 Oktober 2015.

Debat yang dipandu Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Solo, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, itu berlangsung selama dua jam. Sindir-menyindir antarcalon cukup kentara pada segmen III dan segmen IV. Sindiran antarcalon seolah menyudutkan calon bupati petahana Agus Fatchur Rahman.

Advertisement

Kwik Kian Gie (2011) mengatakan debat model Amerika Serikat yang kita tiru secara mentah-mentah jelas bukan kebudayaan kita. Aneh kalau kita mengharapkan para kontestan itu dalam debat saling menyerang, menggunakan tutur kata yang tajam, dan cara serta gaya seperti di Amerika Serikat.

Para organisator debat ingin menjadikan kontestan ”jangkrik-jangkrik” yang diadu dan dipertontonkan kepada publik, tetapi kita tetap orang Timur, yang lebih perasa dibandingkan dengan orang Barat. Memang seperti itu yang terjadi. Adhem ayem, empuk eyup.

Di sisi lain, debat pilkada Boyolali dan Wonogiri malah menorehkan catatan buruk. Sangat disayangkan pelaksanaan debat pilkada malah menjadi kontraproduktif. Para pendukung kontestan belum bisa bersikap dewasa.

Anggaran debat tidaklah sedikit. Di Wonogiri Rp96 juta dan di Klaten Rp60juta, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat menyentuh sasaran. Debat tidak memberikan ruang cukup untuk nuansa atau tema-tema kompleks.

Pada satu sesi calon sering dipaksa memberikan solusi dalam waktu 30 detik. Seperti pelaksanaan cerdas cermat anak sekolah. Pada sesi lain malah mirip konferensi pers yang digelar secara paralel.

Bisa dikatakan debat hanya menggugurkan kewajiban. Masih jauh dari harapan. Banyak sekali kelemahan yang justru menjadi antitesis tujuan mulia debat. Setidaknya perlu dikaji ulang apakah debat ini penting? Apakah sesuai dengan budaya kita?

Jika kita telaah, pelaksanaan debat sebenarnya bukan satu-satunya syarat yang menentukan pasangan calon layak menjadi pemimpin. Masih banyak variabel yang penjadi kunci penentu. Di antaranya track record kontestan, partai pengusung, visi dan misi, dan ideologi.

Pemenang debat tidak serta-merta  menjadi pemenang pilkada. Ada baiknya kita menyimak Vincent Michelot, profesor ilmu politik di Institut d’Études Politiques (Sciences Po),  Lyon, Perancis. Ia mengatakan debat di Amerika Serikat (sejak 1960) tidak pernah berdampak terlalu banyak untuk mengubah pilihan rakyat.

Hasil survei sebelum pemilu tidak akan banyak berubah hanya karena debat. Di sini akan lebih mengena jika pelaksanaan debat diganti dengan talk show di radio/televisi atau sosialisasi secara tertulis di media cetak. Hal ini berdampak pada pembelajaran rakyat.

Rakyat akan semakin cerdas dalam menentukan pemimpin. Budaya kita pun mengondisikan seperti itu. Tak perlu heran terjadi kecanggungan jika kontestan diadu langsung secara head to head.

Jean Jacques Rousseau, filsuf yang memengaruhi Revolusi Perancis dan ilmu politik modern, mengatakan sebaik-baiknya demokrasi adalah yang bisa menyerap secara langsung kehendak rakyat. Jika akibat debat hanya pemborosan uang negara dan menimbulkan perpecahan, apakah rakyat menghendaki debat?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif