News
Kamis, 29 Oktober 2015 - 14:35 WIB

PENDIDIKAN TINGGI : Punya 22.000 Prodi, Indonesia Krisis Profesor

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

 Pendidikan tinggi saat ini kekurangan profesor.

Solopos.com, JAKARTA – Indonesia saat ini masih kekurangan profesor atau guru besar.

Advertisement

“Jumlahnya baru sekitar 5.300 profesor, padahal jumlah program studi di Tanah Air mencapai 22.000,” ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Kamis (29/10/2015).

Dia mengatakan jumlah mahasiswa di perguruan tinggi saat ini 6,3 juta jiwa. Apabila dibandingkan dengan program studi (prodi), jumlah tersebut sangat kecil karena jumlah prodi di Tanah Air mencapai 22.000. Idealnya setiap prodi dikepalai oleh seorang profesor.

Beberapa hal yang menyebabkan sedikitnya jumlah profesor di Tanah Air, lanjut Ghufron, adalah berbelitnya birokrasi dan keuangan yang tidak mencukupi untuk membayar tunjangan jabatan profesor.

Advertisement

Selain itu, anggaran penelitian yang diberikan pemerintah sangat kecil yakni 0,009 dari PDB. Idealnya untuk riset adalah 1,5 persen dari PDB.

“Kami memangkas birokrasi yang berbelit tersebut, sehingga diharapkan calon profesor semakin bersemangat meraih jabatan tertinggi itu,” beber Ali Ghufron. Dia menegaskan profesor bukanlah gelar akademik, melainkan jabatan tertinggi yang diraih seorang dosen.

Untuk bisa mendapatkan jabatan profesor, lanjut dia, seorang dosen harus mengajar selama 10 tahun atau meraih nilai kredit mencapai 1.000.

Advertisement

Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Sofian Effendi menuturkan kurangnya jumlah profesor menyebabkan perankingan internasional perguruan tinggi selalu berada peringkat bawah.

“Riset tentu berbeda jika dibandingkan pembiayaan untuk infrastruktur. Kalau infrastruktur, kelihatan langsung wujudnya. Berbeda dengan riset yang membutuhkan waktu lama. Ponsel cerdas yang kita gunakan sekarang sudah ada risetnya sejak 1970-an, saya lihat sendiri di Korea Selatan,” jelas Sofian.

Oleh karenanya, Sofian meminta pemerintah tidak pelit memberikan anggaran untuk riset karena akan bermanfaat untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif