Kolom Jogja
Senin, 26 Oktober 2015 - 01:20 WIB

ANGKRINGAN PAKDHE HARJO : Semua Dikebiri Saja

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Redaktur Pelaksana Harian Jogja, Amiruddin Zuhri (JIBI/Harian Jogja/dok)

Angkringan Pakdhe Harjo ditulis Wartawan Harian Jogja, Amiruddin Zuhri

Harianjogja.com, JOGJA-Angkringan Pakdhe Harjo kali ini mengenai penanganan korupsi di Indonesia.

Advertisement

“Jutaan rakyatnya mau bernapas saja susah, sementara para pemimpinnya tidak punya malu sama sekali menerima suap miliaran rupiah. Benar-benar nyebahi,” tidak seperti biasanya yang cenderung kalem, Pakdhe Harjo kali ini tampak jelas berkata dengan emosi tinggi. Suta dan Rukijo sendiri agak kaget dengan nada suara bos angkringan itu yang sedikit berbeda.

“Mereka ini juga layak dihukum kejam seperti usulan hukuman kebiri untuk orang-orang yang melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak,” lanjut Pakdhe Harjo sambil meletakkan koran yang baru saja dibaca di meja angkringan.

Advertisement

“Mereka ini juga layak dihukum kejam seperti usulan hukuman kebiri untuk orang-orang yang melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak,” lanjut Pakdhe Harjo sambil meletakkan koran yang baru saja dibaca di meja angkringan.

“Ya, ndak nyambung Dhe,” Suta angkat bicara. “Masa koruptor kok dikebiri. Kalau para pelaku kejahatan seksual untuk anak-anak ya wajar dikebiri. Karena tindakannya sudah tidak manusiawi lagi. Sudah merusak masa depan anak,” lanjutnya sambil membuang bungkus nasi kucing yang isinya baru saja dia habiskan.

“Lha apa menurutnya para koruptor itu juga manusiawi?” serobot Pakdhe Harjo masih dengan nada emosi. “Apa menurutmu mereka itu tidak merusak masa depan anak-anak? Wong duit yang digarong adalah duit yang seharusnya untuk pembangunan yang nanti akan dinikmati anak cucu. Sama saja, mereka itu tidak manusiawi. Lebih tidak manusiawi malahan. Jadi ya harus dihukum dengan sekejam dikebiri,” lanjut Pakdhe Harjo.
“Tapi masa dikebiri Dhe?” Rukijo nyambung “Ndak pas itu.”

Advertisement

“Lha apa menurutmu koruptor itu tidak sadis? Apalagi sekarang keadaan lagi susah. Rakyat Indonesia di Sumatera dan Kalimantan sepanjang waktu sesak napas. Sudah belasan orang mati karena menghirup asap. Bahkan untuk bernapas saja beli oksigen, sekolah diliburkan berbulan-bulan, orang tidak bisa bekerja. Terus dia nggarong duit rakyat. Itu tindakan manusia?” Suta dan Rukijo hanya terdiam. Kali ini mereka tidak berani menjawab melihat emosi Pakdhe Harjo yang tengah tinggi.

“Sekarang Papua dan Sulawesi juga ikut terbakar. Belum lagi ekonomi juga masih sulit, harga-harga tinggi, pengangguran makin banyak. Mbok ya para pemimpin itu mikir dikit,” sejenak pemilik angkringan itu berhenti. “Prihatin, tidak mengejar kepentingannya sendiri. Itu kalau masih mau disebut manusiawi,” kalimat terakhir diucapkan dengan pelan tetapi berat.

“Kita yang jadi rakyat-rakyat kecil ini juga sering dibuat bingung,” kali ini Rukijo berbicara setelah ketiga orang itu sejenak berdiam diri. “Masalah begitu banyak tetapi kenapa seperti tidak bisa tertangani dengan cepat dan serius. Korupsi menjadi-jadi tetapi katanya KPK malah mau dibatasi, api membakar hutan berbulan-bulan tetapi bukannya bisa dipadamkan malah semakin menjadi-jadi,” lanjut Rukijo.

Advertisement

“Tetapi pemerintah juga sudah berusaha keras Jo untuk memadamkan api. Jadi ya jangan asal menyalahkan pemerintah,” sergah Suta.

“Aku itu tidak menyalahkan Kang, cuma bingung saja. Kenapa dulu ketika api masih belum parah tidak segera dipadamkan,” sejenak berhenti Rukijo menenggak teh di gelasnya, “Semua pasti ingat dulu pemerintah yakin bisa menangani dan janji bisa memadamkan 30 hari, bahkan bantuan negara lain ditolak karena yakin bisa memadamkan sendiri. Sekarang ketika api makin membesar baru meminta bantuan negara lain. Terus akhirnya mau mengevakuasi warga, lha mengevakuasi jutaan orang itu sendiri aku kok bingung caranya bagaimana,” kembali Rukijo meneguh teh dari gelasnya yang sedari tadi masih dia pegang.

“Mau ditampung di gedung-gedung pemerintah yang memiliki pendingin dan pembersih udara katanya,” sambung Suta.

Advertisement

“Seberapa banyak gedung yang bersih untuk menampung orang segitu banyak Kang,” sergah Rukijo.
“Dibawa dengan kapal perang,” kali ini Pakdhe Harjo nyambung.

“Mau dibawa ke mana Dhe? Jakarta? Terus kapal itu bisa membawa berapa orang dari jutaan yang terkena asap?” Pakdhe Harjo dan Suta terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa.
“Itu yang membakar lahan itu juga keterlaluan. Tidak punya hati babar blas. Tidak manusiawi. Mereka itu juga layak dikebiri karena telah menyebabkan orang-orang mati. Merusak masa depan generasi mendatang, memaksa pemerintah menghambur-hamburkan uang untuk memadamkan api. Keterlaluan,” kali ini Suta yang balik emosi. Tangganya menggebrak meja membuat Pakdhe Harjo dan Suta njondil dari duduknya.
“Walah, lha terus siapa-siapa mau dikebiri,” kata Rukijo sembari terkekeh-kekeh.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif