Lifestyle
Minggu, 18 Oktober 2015 - 16:15 WIB

KULINER SOLO : Tahok, Dulu Jadi Idola Kini Kian Langka

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wagiman, warga Joyosuran, Pasar Kliwon, Solo, meracik tahok pesanan pembeli di tempat dhasarannya di Kretek Gantung, Jebres, Solo. (Iskandar/JIBI/Solopos)

Kuliner Solo ini mengupas tentang tahok yang merupakan makanan khas Tionghoa.

Solopos.com, SOLO – Tahok adalah salah satu makanan tradisional terbuat dari sari kedelai yang disajikan dengan kuah manis dari gula. Makanan tradisional khas Tionghoa yang sekarang nyaris punah ini, dulu pernah mencapai masa kejayaan di Kota Bengawan.

Advertisement

Salah seorang penjual tahok di Solo, Wagiman, 70, menceritakan sejak zaman Presiden Soekarno berkuasa sampai masa pemerintahan Presiden Soeharto, dagangannya laris manis.

“Dulu pedagang tahok di Solo ada puluhan orang. Sekarang tinggal empat orang termasuk saya,” ujar dia ketika ditemui di dhasarannya di Loji Wetan, Jebres, Solo, beberapa waktu lalu.

Advertisement

“Dulu pedagang tahok di Solo ada puluhan orang. Sekarang tinggal empat orang termasuk saya,” ujar dia ketika ditemui di dhasarannya di Loji Wetan, Jebres, Solo, beberapa waktu lalu.

Menurut warga Joyosuran, Pasar Kliwon, Solo yang berjualan tahok sejak kira-kira 48 tahun lalu itu, saat ini penjual tahok di Solo bisa dihitung dengan jari.

Mereka tersebar di beberapa tempat di Solo seperti di Pasar Gede, Kretek Gantung, Warung Miri dan ada yang keliling kampung sampai di Laweyan.

Advertisement

Dia mengakui makanan khas Tionghoa yang sekarang sudah banyak dikenal berbagai etnis ini termasuk salah satu makanan langka di Solo. Karena itu dia dan tiga rekan lainnya yang masih setia berjualan tahok berharap makanan ini kembali digemari warga.

Menurut dia penghasilan rata-rata dalam satu hari tak tentu, bahkan kadang harus nombok. Sebab untuk menutup setoran Rp200.000 per hari kadang perolehan dari hasil jualan tidak bisa dicapai.

Namun dalam kondisi normal pendapatan bersih per hari antara Rp50.000 sampai Rp70.000. Dia menjelaskan saat ini sulit mencari uang memadai dengan berjualan tahok.

Advertisement

Wagiman mengaku tertarik berjualan tahok, karena melihat temannya yang lebih dulu berjualan mempunyai penghasilan jauh lebih besar dibanding dirinya. Ketika itu ia bekerja di salah satu bengkel sepeda di Solo.

Wagiman pun mencoba berjualan Tahok dengan memikul dagangan dari kampung ke kampung. Penghasilan dari berjualan Tahok ketika itu dinilai lebih banyak dibanding bekerja di bengkel sepeda.

Sebagai gambaran ketika dia bekerja di bengkel sepeda beberapa waktu lalu, sehari digaji Rp2.500. Sedangkan jika berjualan Tahok dalam sehari dia bisa mendapatkan Rp7.000 dalam sehari. Jika sedang ramai dulu dia bahkan mengaku sering mendapat Rp10.000 per hari.

Advertisement

Menurut dia dagangan Tahok yang dijual sejak dulu dibuatkan juragan. Pembuatan Tahok yang berbahan baku kedalai dilakukan melalui beberapa tahapan proses.

Semula kedelai dicuci terus digiling, setelah halus diberi air dan diperas diambil inti sarinya yang menyerupai santan. Setelah itu santan kedelai itu digodok dan diberi ramuan tertentu hingga mengental menyerupai tahu.

“Agar santan bisa mengental memang diberi ramuan tertentu. Tapi ramuan itu dirahasiakan oleh juragan sehingga hanya dia sendiri yang mengetahui racikannya,” kata dia.

Setelah adonan Tahok jadi, kata dia, dia dan teman-temanya tinggal menjualnya ditambah dengan kuah manis yang dibuat dari air, gula dan jahe.

Saat ini, kata dia, harga per mangkuk tahok dijual Rp6.000. Dulu ketika ramai-ramainya berjualan tahok dia mengaku sering mendapat penghasilan lumayan banyak. Sehingga penghasilan itu bisa untuk menyekolahkan empat orang anaknya dan menutup kebutuhan hidup sehari-hari.

Saat ini, kata dia, mencari uang dengan berjualan Tahok cukup sulit. Untuk memenuhi setoran Rp200.000 yang dipatok juragan dia kadang mengaku tak bisa sehingga harus nombok.

Yang masih menjadikan Wagiman bersemangat berjualan hingga Laweyan, karena langganannya sering menunggu dagangannya.

“Langganan saya di kampung-kampung masih lumayan banyak termasuk beberapa juragan batik di Laweyan. Sehingga meskipun harus jalan kaki tetap saya lakoni berjualan keliling sampai Laweyan. Karena sayang kalau ditinggal begitu saja,” ungkap dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif