Kolom
Selasa, 13 Oktober 2015 - 12:30 WIB

GAGASAN : Anakronisme Sejarah dan Klaim Ngayawara

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (12/10/2015), ditulis Heri Priyatmoko. Penulis adalah dosen Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Jogja.

Solopos.com, SOLO — Di muka satu unit rumah di kompleks bekas Pabrik Gula (PG) Colomadu, timur perempatan Colomadu, Karanganyar, ujug-ujug terpampang selembar papan.

Advertisement

Papan itu bertulisan klaim kepemilikan 280.000 meter persegi tanah bekas PG Colomadu oleh Yayasna Surokarto Hadiningrat yang mengatasnamakan Muhammad Khusen.

Yayasan itu mengklaim tanah PG Colomadu merupakan warisan leluhurnya, Paku Buwono VIII. Kawasan luas tersebut bukanlah milik PTPN IX (representasi negara) karena PTPN hanya punya hak guna bangunan.

Pendakuan ini boleh dibilang ”golek-golek” (mencari-cari) serta terjebak anakronisme sejarah. Berdasar peta tempo dulu, PG Colomadu berada di area Pajang Utara (Malang Jiwan) dan PG Tasikmadu berlokasi di Sukawati bagian Timur (Karanganyar, afdeeling Sragen).

Advertisement

Afdeeling ialah wilayah administrasi pemerintah kolonial Belanda yang berada di bawah karesidenan. Tata wilayah Praja Mangkunegaran bermula dari perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. R.M. Said dipersilakan menempati rumah Patih Sindurejo untuk hunian.

Disediakan pula tanah seluas 4.000 karya (satu karya=7.069 meter persegi) sebagai lungguh (tanah jabatan). Lokasi yang ditulis dalam kesepakatan politik itu antara lain, Keduwang (Distrik Jatisrana dan Onderdistrict Ngadiraja-Girimarta), Laroh (Onderdistrict Nambangan dan Wonogiri), Haribaya (daerah Kepuh), Wiraka masuk wilayah Tirtamoyo, Hanggabayan (Jatipuro dan Jumapolo), Sembuyan (Baturetna), Kedu, serta Pajang (selatan dan utara jalan Kartasura-Solo).

R.M. Said dinobatkan menjadi Mangkunagoro I bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya. Berdirilah Kadipaten Mangkunegaran. Mangkunagoro I menerima piagam dari Paku Buwono III dan VOC untuk menjaga (bukan memiliki) lungguh yang meliputi Keduwang, Laroh, Matesih, serta Gunungkidul.

Advertisement

Tokoh berjulukan Pangeran Samber Nyawa ini tutup usia pada 28 Desember 1795. Ia digantikan Pangeran Suryataman pada 26 Januari 1792. Hak tanah Mangkunegaran menjadi hak turun-temurun, status Mangkunegaran menjadi otonom, tidak di bawah bayang-bayang Kasunanan Surakarta (Muhammad Dalyono, 1977).

Merujuk karangan Pringgodigdo (1950), daerah dalam Perjanjian Salatiga mekar takkala Thomas Stamford Raffles memberi hadiah berupa tanah seluas 1.000 karya kepada Mangkunagoro II pada 1821. Ini balas budi karena Mangkunagoro II mendukung pemerintah Inggris menggempur Sultan Sepuh di Jogja dan Paku Buwono IV.

Luas seluruh tanah Mangkunegaran mencapai 5.000 karya. Daerah tambahannya Keduwang (27 jung, 1 jung=28.386 meter persegi), Sembuyan (12 jung), Sukawati sisi timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (18,5 jung), dan lereng Gunung Merapi sebelah timur (29,5 jung).

Mangkunegara II lihai meluaskan wilayah kekuasaannya tanpa ekspansi. Ia mendukung Belanda ketika memadamkan de Java Orloog alias Perang Dipanegara (1825-1830). Mangkunagoro II diganjar tanah seluas 500 karya. Luas Mangkunegaran menjadi 3.850 hektare atau 5.500 karya.

Kemudian diselenggarakan ruilslag (tukar guling) pada 1831. Tukar tanah ditempuh supaya memudahkan kontrol administrasi kewilayahan. Tanah Mangkunegaran di Gunungkidul sisi barat seluas 64 jung (Ponjong dan Semanu) ditukar dengan tanah Kasultanan Yogyakarta di Sembuyan selatan, di sebelah timur Solo. (Baca: Tak Ada Argumentasi)

 

Tak Ada Argumentasi
Tanah di kawasan Gubernemen (area kekuasaan Belanda) diuangkan senilai f1.297,98 (tanah Kedu seluas 8,5 jung dan Kalitan, yakni Majak, Tuk Sanga, dan Ketinggi. Pertengahan abad XIX, tiga wilayah administrasi Mangkunegaran, yaitu Kadipaten Anom Karanganyar (Sukawati, Matesih, Haribaya), Wonogiri (Nglaroh, Hanggabayan, Keduwang), dan Malang Jiwan (bakal lokasi PG Colomadu).

Perubahan terjadipada 1875. Kadipaten Anom Malang Jiwan dihapus dan dimasukkan ke Kadipaten Anom Kota Mangkunegaran. Dibentuk pula Kadipaten Anom baru Baturetno meliputi Wiraka dan Sembuyan.

Sewaktu Mangkunagoro IV jumeneng nata (1853-1881), kawasan praja punya empat Kadipaten Anom, yaitu ibu kota Mangkunegaran (922 desa), Karanganyar (636 desa), Wonogiri (680 desa), dan Baturetno (295 desa).

Di Reksapustaka Mangkunegaran saya menemukan buku Geschiedenis Der Eigendommen van Het Mangkoenagororosche Rijk yang disusun Dr. S. Mansfeld. Buku ini menjelaskan distrik Malang Jiwan ialah bagian wilayah Mangkunegaran, masuk dalam afdeeling Surakarta.

Tak ada penjelasan Malang Jiwan adalah tanah Kasunanan Surakarta atau milik Paku Buwono VIII. Sewaktu Mangkunagoro IV berkuasa tak ada peristiwa politik atau konflik yang melibatkan Kasunanan Surakarta dengan Mangkunegaran yang memicu penyerahan atau penyusutan tanah.

Tak ada argumentasi Mangkunagoro IV melepaskan tanah di Malang Jiwan kepada Paku Buwono VIII baik secara lisan atau dalam dokumen perjanjian. Mangkunagoro IV piawai berorganisasi serta matang dalam pertanian, perdagangan, dan industri guna untuk memakmurkan kerajaan.

Mangkunagoro IV mengadakan revolusi: menarik semua lungguh guna dikerjakan sendiri. Gaji bangsawan dan pengawai diganti uang. Berhektare-hektare tanah di beberapa daerah dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan industri perkebunan tebu, kopi, dan lainnya.

Mangkunagoro IV hingga Mangkunagoro VII (1916-1944) sukses memimpin kerajaan di posisi mengalahkan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Paku Alaman di sektor ekonomi.

Sungguh tidak masuk akal bila Mangkunagoro IV menjual atau memberikan aset Malang Jiwan ke istana Kasunanan Surakarta atau Paku Buwono VIII.

Wong pinter angel kapusan lemah. Lan wong turah utawa sugih kok dodolan. Ora tinemu nalar. Begitu kata bakul di Pasar Legi. Klaim Yayasan Surokarto Hadiningrat adalah anakronisme sejarah dan jelas ngayawara.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif