News
Minggu, 11 Oktober 2015 - 22:30 WIB

BENCANA JATENG : Ganjar: Jawa Tengah Supermarket Bencana

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pemandangan api Gunung Lawu yang terlihat dari Alun-Alun Magetan, Selasa (25/8/2015) malam. (JIBI/Solopos/Antara/Siswowidodo)

Bencana di Jateng sangat berpotensi terjadi sepanjang tahun. Gubernur pun menyebut Jateng supermarket bencana.

Solopos.com, SOLO — Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo menyebutkan tingginya potensi bencana alam membuat Jawa Tengah menyerupai supermarket bencana. Data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 90% bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometrologi (bencana dipengaruhi iklim dan cuaca).

Advertisement

Beberapa bencana hidrometrologi yang kerap melanda wilayah Jawa Tengah di antaranya banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, angin puting beliung, dan gelombang pasang.

“Jawa Tengah ini secara geografis memang supermarket bencana. Bencana apa saja ada di sini. Makanya setiap saat kita harus siaga setiap hari ada bencana,” kata Ganjar Pranowo saat memimpin Apel Kerja Bakti Resik-resik Anakan Sungai Bengawan Solo di pelataran Balai Kota, Minggu (11/10/2015).

Advertisement

“Jawa Tengah ini secara geografis memang supermarket bencana. Bencana apa saja ada di sini. Makanya setiap saat kita harus siaga setiap hari ada bencana,” kata Ganjar Pranowo saat memimpin Apel Kerja Bakti Resik-resik Anakan Sungai Bengawan Solo di pelataran Balai Kota, Minggu (11/10/2015).

Ganjar Pranowo menuturkan salah satu bencana alam yang menjadi langganan di wilayahnya adalah kekeringan saat musim kemarau dan banjir saat musim penghujan. Salah satu yang menjadi biang bencana alam adalah kondisi sungai yang memprihatinkan.

“Dalam Kongres Sungai Indonesia tempo hari juga muncul kita harus mengambil tindakan. Apalagi melihat kondisi sungai sudah ngenes begini. Hampir semua rumah saat ini posisinya membelakangi sungai, tidak menghadap langsung. Sungai jadi tempat sampah. Perilakunya harus diubah dari sekarang,” sarannya.

Advertisement

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, Sarwa Permana, mengemukakan saat ini masyarakat diimbau mulai mempersiapkan musim penghujan yang diprediksi terjadi pada awal November mendatang.

“Ramalan BMKG November nanti hujan. Masyarakat sudah harus mulai persiapan. Biasanya beberapa daerah di Soloraya seperti Klaten, Sukoharjo, dan Sragen rawan banjir. Selain itu, perlu diwaspadai juga ancaman longsor dan banjir lahar dingin di lereng Gunung Merapi,” tambahnya.

Sementara itu, Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Bernardus Wisnu Widjaja, menambahkan perubahan fungsi lahan di sekitar sungai berdampak besar pada kerusakan ekologi. “Kita sedang mengalami degradasi DAS [daerah aliran sungai]. Akibatnya mulai banjir, longsor, penurunan debit hingga kualitas air sungai,” bebernya.

Advertisement

Menurutnya, kondisi DAS yang tidak normal juga berkontribusi pada kekeringan yang melanda beberapa kawasan.

“Kekeringan akan terus seperti ini kalau lingkungan tidak diperbaiki. Kami memprediksi 2075 nanti kalau tidak diperbaiki kekeringan bisa 40%-45% lebih buruk dari sekarang. Saat ini rata-rata kita minus 40 miliar meter kubik air. Bisa dibayangkan kalau Waduk Jati Gede luasnya satu miliar meter kubik, berarti kekurangan air kita 40 kali Waduk Jati Gede,” ungkapnya.

Deputi mengungkapkan salah satu solusi untuk menanggulangi kerusakan lingkungan adalah membangun kesadaran bersama menata lingkungan. “Kalau masyarakat sadar, semuanya bisa kembali normal. Perbaikan lingkungan nanti ada jasanya. Pohon yang ditanam bisa melembabkan tanah. Air juga bisa masuk ke tanah lewat biopori. Kalau setiap rumah sadar membuat, kekeringan bisa dihindarkan,” ungkapnya.

Advertisement

Sedangkan untuk menghindari banjir, dia menyebutkan optimalisasi perlindungan di wilayah seputaran sungai mutlak diperlukan. Menurutnya, saat ini sebagian besar wilayah resapan sekitar sungai telah beralih fungsi sebagai tempat budidaya, bukan resapan.

“Tutupan lahan budidaya di sekitar sungai membuat air tidak meresap ke tanah. Normalisasi kali juga bukan pilihan. Hanya memindahkan banjir. Yang paling baik itu penataan air. Baiknya air ditahan di darat sehingga tetap tersimpan di dalam tanah dan bisa dimanfaatkan saat kekeringan,” pungkasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif