Soloraya
Rabu, 7 Oktober 2015 - 10:15 WIB

SENGKETA SRIWEDARI : Konflik Sriwedari Dinilai Jadi Ujian Revolusi Mental untuk Pemkot Solo

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bendera merah terpasang di kawasan plaza dan gapura Sriwedari, Solo, Rabu (16/9/2015). Bendera yang dipasang komunitas #anakmudasolo tersebut sebagai salah satu wujud penolakan terhadap pengosongan kawasan Sriwedari. (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Sengketa Sriwedari hingga kini masih berlarut-larut.

Solopos.com, SOLO — Sejumlah pihak menyebut penanganan kasus Sriwedari saat ini menjadi ujian revolusi mental bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Solo.

Advertisement

Mantan Ketua DPRD Solo, Hariyadi Saptono, menyayangkan langkah Pemerintah Kota (Pemkot) Solo yang berkukuh mengajukan peninjauan kembali (PK) putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memenangkan pihak ahli waris Sriwedari, keluarga R.M.T. Wiryodiningrat.

“Semestinya hukum bisa jadi panglima di negeri ini. Dengan adanya putusan yang telah memenangkan ahli waris, semestinya semua pihak sama-sama menghormati putusan hukum. Pemerintah sebagai penyelenggara negara menjalankan amanat hukum. Ahli waris sebagai pemenang putusan juga menghargai aspirasi warga yang menghendaki adanya ruang publik,” terangnya saat berbincang di Griya Solopos, Senin (5/10/2015).

Advertisement

“Semestinya hukum bisa jadi panglima di negeri ini. Dengan adanya putusan yang telah memenangkan ahli waris, semestinya semua pihak sama-sama menghormati putusan hukum. Pemerintah sebagai penyelenggara negara menjalankan amanat hukum. Ahli waris sebagai pemenang putusan juga menghargai aspirasi warga yang menghendaki adanya ruang publik,” terangnya saat berbincang di Griya Solopos, Senin (5/10/2015).

Hariyadi memertanyakan langkah Pemkot Solo yang baru bergerak setelah putusan hukum eksekusi Sriwedari telah final.

“Kalau Pemkot serius, harusnya pengajuan PK sejak 2011 lalu. Sebelum inkracht. Kenapa setelah ada putusan eksekusi final baru mengajukan PK dengan novum yang masih belum jelas,” sesal dia.

Advertisement

“Pandangan kami sekarang harus ada win-win solution bagi semua pihak. Kalau ketemu saja sudah petentengan, ya berat untuk penyelesaian. Saat ini presidennya kebetulan dari Solo. Nah, apakah saat ini pemerintah daerahnya menjalankan revolusi mental atau justru menggunakan mental menerabas bisa dilihat dengan langkahnya belakangan ini,” beber dia.

Untuk diketahui, penangguhan eksekusi lahan sengketa Sriwedari setelah melalui aanmaning di Pengadilan Negeri (PN) Solo, Selasa (29/9/2015) lalu, mengulur proses hukum yang sudah puluhan tahun berjalan.

Hariyadi menambahkan yang paling dirugikan dengan berlarut-larutnya proses hukum penyelesaian Sriwedari adalah warga Solo sendiri.

Advertisement

“Kalau terus-terusan diulur, institusi yang lain bagaimana? Kaitannya dengan pertanggungjawaban anggaran juga. Kalau tidak ada novum baru yang signifikan, buat apa berlama-lama. Warga sudah terbebani dengan kenangan kolektif mulai dari Bon Rojo, Segaran, dll.,” kata dia.

Senada dengan Hariyadi, Direktur Lembaga Penelitian dan Studi Pembangunan Masyarakat (LPSPM) Sidik Hendro Purnomo, juga menuntut Pemkot Solo sportif menyikapi putusan hukum.

“Pemerintah seharusnya belajar mereka itu cermin bagi masyarakat. Kalau pemerintah tidak mengubah cara lamanya yang sering mengambil alih hak sipil, revolusi mentalnya bagaimana,” tanyanya.

Advertisement

Hendro khawatir sikap pemerintah tersebut menjadi preseden penegakan hukum yang buruk bagi masyarakat ke depan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif