Jogja
Rabu, 30 September 2015 - 20:20 WIB

Tradisi di Desa Bohol, Setiap Pasangan yang Menikah Harus Tanam 5 Pohon Jati

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bibit tanaman (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Tradisi di Desa Bohol ini unik, yakni setiap pasangan yang menikah harus menanam pohon jati

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL– Pemerintah Desa Bohol, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul memiliki tradisi unik yang diberlakukan sejak 2007 silam. Melalui Surat Keputusan Kepala Desa Bohol No.13/KPTS/2007 disebutkan setiap calon pasangan yang akan menikah di wilayah Bohol, wajib menanam pohon jati, minimal lima batang.

Advertisement

Sepanjang perjalanan sejak dari Desa Semugih menuju Desa Bohol, pohon jati yang kering, meranggas berdaun coklat berjajar di pinggiran jalan. Tidak sedikit yang tumbuh tepat di atas bebatuan keras perbukitan karst. Sejumlah telaga nampak kering. Walaupun arloji di tangan menunjukkan pukul 10.00 WIB, cuaca sudah terasa panas menyengat.

Suasana berbeda begitu Harian Jogja sejenak mampir ke Dusun Ngasem Lor, Desa Bohol. Diantar oleh seorang perangkat desa, kami menyusuri medan yang sedikit menanjak, namun suasana cukup teduh memayungi daerah sekitar rumah milik keluarga pasangan muda Fandi Ahmad dan Nining Merdyaningsih.

Advertisement

Suasana berbeda begitu Harian Jogja sejenak mampir ke Dusun Ngasem Lor, Desa Bohol. Diantar oleh seorang perangkat desa, kami menyusuri medan yang sedikit menanjak, namun suasana cukup teduh memayungi daerah sekitar rumah milik keluarga pasangan muda Fandi Ahmad dan Nining Merdyaningsih.

Mereka adalah suami-istri Desa Bohol yang menikah pada 3 November 2010 silam, baik Fandi maupun Nining menjadi salah satu pasangan yang wajib menanam sepuluh bibit jati. Lima bibit jati menjadi kewajiban Nining, dan lima bibit sisanya menjadi kewajiban Fandi.

Sesekali Fandi menyeka keringatnya, karena kebetulan siang itu ia masih di sela-sela waktu bekerja. Kemudian ia sedikit mengisahkan kembali mengenai aturan kromojati.

Advertisement

Kala memutuskan menikahi Nining, lelaki kelahiran 27 Mei 1990 itu mengingat bahwa Gunungkidul sedang dilanda musim hujan. Sehingga ia tidak menemui kesulitan dalam memenuhi aturan desa itu, bahkan pedagang bibit jati eceran dapat ia temui dengan mudah.

“Saat itu harga satu bibit Rp5.000. Pasangan di desa yang menikah saat itu ramai, bukan hanya saya, jadilah kami bekerja bakti menanam bibit jati itu, walau di lahan kami masing-masing,” kenang putra dari Jumirin dan Tri Muyekti ini, dijumpai Selasa (29/9/2015).

Sembari memangku Ulfiyani Ahmad Saputri, putri pertama mereka yang berusia empat tahun kurang dua bulan, Fandi melanjutkan cerita. Fandi dan Nining menanam bibit jati mereka di Mergosono, agak jauh dari rumah. Namun, mereka menanam tidak sendirian, melainkan dibantu oleh empat pasangan calon pengantin lainnya.

Advertisement

Di kesempatan lain, secara bergiliran mereka saling bantu menanam bibit jati, di lahan pribadi masing-masing. Hingga lima pasang ‘pengantin kromojati’ itu bisa menanam bibit jati mereka masing-masing

“Kalau menanam hanya berdua, mungkin terasa capek, tapi ini menanamnya rame-rame, malah seru, tidak terasa capek. Merawat tanamannya juga rame-rame, di desa memang gotong-royong ini yang dikuatkan,” ungkapnya.

Kini, tanaman yang mereka tanam belum lagi berusia genap lima tahun, Fandi memperkirakan diameter batangnya saja mungkin baru sekitar 20 senti meter. Tentu saja, sebagai warga yang taat aturan ‘tebang pilih tanaman’, ia tidak akan menebang pohon sebelum masanya. Sebagai anak muda yang tumbuh di Bohol, sedikit banyak ia melihat perbedaan sebelum dan sesudah aturan kromojati itu diberlakukan. Fandi menyebut, kini, apabila musim hujan tiba, wajah Bohol akan lebih hijau.

Advertisement

“Kalau sekarang kan masih kemarau, tanaman masih kering-kering,” sebutnya.

Kini, gantian Nining yang membagi rasa. Saat ditanya akan digunakan sebagai apa kayu jati hasil tanam mereka, sambil tersenyum ia mengungkapkan akan menggunakannya untuk ‘bedah rumah’. Mengingat, kayu jati hasil tanam mereka tidak boleh dijual dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.

Mereka juga belum memiliki rencana untuk menambah jumlah tanaman jati di lahan mereka. Masih menunggu sepuluh bibit kromojati mereka tumbuh dan berkembang. Apalagi, tanaman jati dikenal sebagai tanaman yang akan tumbuh semakin baik dan berkembang setelah ditebang.

Putri Mugiyono dan Harti ini sepakat dengan suami, aturan kromojati justru menjadi sarana meningkatkan gotong-royong dan kedekatan antar warga Desa Bohol.

Sementara itu dijumpai terpisah, Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Desa Bohol, Sukiyo menerangkan, kromojati adalah sebuah aturan yang mengikat warga desa, yang diwujudkan dalam sebuah keputusan Kepala Desa. Di mana pasangan yang menikah sejak surat keputusan itu terbit, wajib menanam bibit jati, mempelai perempuan menanam lima pohon, mempelai laki-laki menanam lima pohon.

Aturan ini dicetuskan oleh Kepala Desa yang saat itu melihat bahwa di lingkungan sekitar perlu dilakukan penghijauan. Selain itu, pohon jati, bisa menjadi ‘tabungan’ para pasangan muda. Karena ditanam di lahan pribadi, dirawat sendiri dan digunakan oleh mereka sendiri pula.

Meski demikian, dalam mengolah jati hasil tanam itu, pasangan harus tetap mengikuti aturan tebang pilih. Jati yang boleh ditebang minimal berusia 10 hingga 15 tahun.

“Tapi ketika musim kemarau seperti saat ini, tanah kering, sulit ditanami dan bibit sulit dicari, kami memberikan dispensasi. Mereka diperbolehkan menikah terlebih dahulu sebelum menanam jati, tapi kalau musim hujan, mereka kami ‘tagih’ untuk menanam jati yang menjadi kewajiban mereka,” terang Sukiyo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif