Soloraya
Kamis, 24 September 2015 - 22:00 WIB

IDULADHA 2015 : Grebeg Besar Keraton Solo, Merawat Tradisi Manunggaling Kawula Lan Gusti

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga dan abdi dalem berebut gunungan seusai didoakan saat Grebeg Besar Gunungan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kamis (24/9/2015). (Dok Solopos)

Iduladha 2015 di Keraton Solo diperingati dengan Grebeg Besar.

Solopos.com, SOLO — Ratusan orang berdiri memadati pelataran Kori Kamandungan Keraton Kasunanan Hadiningrat Surakarta, Kamis (24/9/2015) siang. Mereka antusias menanti iring-iringan gunungan jaler, estri, serta dua anakan yang dibawa para abdi dalem dalam hajatan Grebeg Besar Keraton Surakarta.

Advertisement

Mendhek [menunduk],” teriak salah satu abdi dalem yang memberi aba-aba kepada abdi dalem yang bertugas mengusung gunungan saat melintasi pintu utama keraton.

Iring-iringan gunungan dikawal seratusan pasukan adat berseragam yang terdiri atas Korps Musik, Bergada Baki, Wiratamtama, Jayengastro, Sorogeni, Doropati, Jayasura, serta Panyutra. Semangat para pembawa gunungan yang diusung Paguyuban Keluarga Keraton Surakarta (Pakasa) dilecut dengan gending Terik Tempe hasil olahan bebunyian instrumen tambur, seruling, dan terompet.

Advertisement

Iring-iringan gunungan dikawal seratusan pasukan adat berseragam yang terdiri atas Korps Musik, Bergada Baki, Wiratamtama, Jayengastro, Sorogeni, Doropati, Jayasura, serta Panyutra. Semangat para pembawa gunungan yang diusung Paguyuban Keluarga Keraton Surakarta (Pakasa) dilecut dengan gending Terik Tempe hasil olahan bebunyian instrumen tambur, seruling, dan terompet.

Selepas meninggalkan istana, gunungan yang diarak dengan iringan gamelan Coro Balen diboyong menuju Masjid Agung Solo melalui Jl. Supit Urang. Hal ini berbeda dengan tradisi Keraton Solo yang biasa menggelar grebeg dengan rute Kamandungan-Siti Hinggil-Pagelaran Sasana Sumewa-Alun-alun utara-Masjid Agung.    

“Situasinya memang lain [pagelaran dan alun-alun sedang dimanfaatkan sebagai lokasi Pasar Darurat Klewer]. Tapi rasanya beda sekali membawa gunungan melewati Supit Urang. [Rute] lebih berat. Padahal kalau dinalar lebih dekat,” aku Siman, abdi dalem yang sudah membopong gunungan sejak 2006 lalu.

Advertisement

Kurang dari lima menit kemudian, gunungan jaler dan anakan yang dipersembahkan keraton untuk warga ludes tak tersisa bahkan sebelum pembacaan doa oleh utusan Keraton Solo rampung dipanjatkan. Abdi dalem Pakasa pun buru-buru mengusung kembali gunungan estri sebelum ikut dirayah warga.   

Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Solo, Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo, menjelaskan Grebeg Besar merupakan perwujudan simbolis perayaan kemenangan umat Islam dalam menjalankan ujian iman.

Pembuatan gunungan dalam acara yang berlangsung setiap tanggal 10 dalam bulan Besar dalam penanggalan Jawa tersebut, imbuhnya, sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan.

Advertisement

“Semua bahan yang disusun untuk gunungan dibuat dari hasil bumi seperti kacang panjang, ubi, terong, dll. Ini ucapan terimakasih atas berkahNya kepada bumi yang mampu menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan hasilnya bisa dimanfaatkan oleh umat manusia,” jelasnya ketika berbincang dengan Solopos.com, Rabu (23/9) malam.

Kanjeng Win menerangkan Keraton senantiasa menjaga tradisi yang merepresentasikan budaya Manunggaling Kawula lan Gusti.

“Keraton sampai sekarang tetap melaksanakan upacara grebeg demi masyarakat, termasuk abdi dalem. Kesatuan ini yang disebut Manunggaling Kawulo lan Gusti. Abdi dalem, masyarakat, bersama raja atau keraton. Bisa dinikmati bersama,” terangnya.

Advertisement

Menurut Kanjeng Win, minimnya bantuan pemerintah kepada Keraton dalam sejumlah acara adat tak jadi soal untuk menyelenggarakan acara yang telah diselenggarakan dari generasi ke generasi tersebut.

“Untuk acara seperti ini setidaknya dibutuhkan Rp200 juta untuk ngopeni ribuan warga. Walaupun tanpa bantuan pemerintah, tapi keraton tidak pernah kekurangan karena masih banyak yang peduli. Entah bagaimana ceritanya, tapi dana selalu tercukupi. Mungkin karena Sabda Sinuwun PB X ‘sanajan Keraton Surakarta mung kari sak megaring payung, nanging bakal tetep lestari’,” tutupnya. 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif