Kolom
Rabu, 23 September 2015 - 08:30 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Refleksi Makna Pertanian

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anindita Prabawati (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (22/9/2015), ditulis Anindita Prabawati. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Pertanian adalah pembangun peradaban. Demikian yang diungkapkan Alan Weisman dalam bukunya, Dunia Tanpa Manusia (2009). Revolusi kebudayaan manusia memasuki era baru dengan adanya pertanian.

Advertisement

Ini ditandai dengan terlepasnya manusia dari ketergantungan pada laku mengumpulkan bahan makanan dari alam atau dari berburu. Pertanian membuat manusia dapat mendomestikasi hewan-hewan liar, seperti kerbau dan sapi, guna membantu mengolah lahan dan membangun peternakan skala rumah tangga.

Konsepsinya diperjelas dengan alasan pertanian menuntut (Weisman memperhalus istilah dengan ”memperkenankan”) pelakunya menetap dalam rangka mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan hidup menetap inilah kemudian muncul suatu struktur kehidupan bermasyarakat yang dalam perkembangannya menciptakan kebudayaan masyarakat petani.

Di Jawa, sebelum bangsa Eropa melakukan kolonialisasi dan imperialisasi yang (juga) berpengaruh pada pertanian, pertanian merupakan basis eksistensi sebuah negara (kerajaan). Masyarakat petani memberikan surplus hasil panen kepada raja.

Advertisement

Sebagai bentuk timbal balik dan kewajiban, para raja membangun saluran irigasi dan transportasi serta menjamin keamanan negara, penduduk dan—tentu saja—pertanian yang menghidupi mereka.

Begitu luhurnya pertahian hingga gelar raja pun menggunakan nama-nama  yang lekat dengan pertanian, seperti Mahesa (kerbau jantan), Andini (sapi betina), dan sebagainya yang menunjukkan mereka tidak dapat terlepas dari pertanian.

Keluhuran ”profesi” petani sayangnya tidak dapat konsisten menghadapi tiga zaman; zaman Belanda dengan patronasenya yang mengganggap petani pribumi kolot, Jepang dengan pemaksaan peningkatan produksi untuk logistik perang, dan era setelah kemerdekaan—terutama yang banyak disoroti—rezim Orde BAru dengan revolusi hijaunya.

Advertisement

Revolusi hijau dengan ”intensifikasi pertanian” sebagai perintah halus tidak lepas dari politik kerja sama pemerintah Orde Baru dengan perusahaan asing penyedia kredit benih padi, pupuk, dan pertisida.

Imbauan menanam padi jenis IR5 dan IR8—padi primadona Asia kala itu—yang umurnya pendek sehingga memperbesar intensitas panen per tahun, menjadi cultuurstelsel kedua. Tidak berlebihan kiranya disebut demikian mengingat petani kemudian dibelenggu sistem pertanian yang berorientasi produksi sehingga mengabaikan sisi keluhuran ”profesi” petani itu sendiri.

Revolusi hijau terbukti meningkatkan produksi pertanian hingga dua kali lipat (Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Budaya, karya  D. Surjo, R.M.  Soedarsono, dan D. Sukiman, 1985, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara) dan memperindah citra Indonesia sebagai negara agraris yang berarti swasembada beras terpenuhi.

Hebatnya, negara kita mengekspor beras untuk membantu menangani kasus kelaparan di negeri orang. Sayangnya, petani tidak merasa sehebat itu. Masalahnya adalah prestasi luar biasa tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kemakmuran petani. Petani, apalagi buruh tani, tidak bisa menuai hasil jerih payah mereka, terutama karena permainan harga beras di pasaran.

Masyarakat petani kemudian menganggap ”profesi” sendiri tidak dapat diandalkan untuk meningkatkan kemakmuran. Masyarakat petani tidak mengharapkan anak-anak mereka menjadi pewaris ”profesi” mulia pemenuh hajat hidup sebagian besar bangsa Indonesia. [Baca: Meluhurkan Kembali]

 

Meluhurkan Kembali
Ini berlaku bahkan sampai saat ini, setengah abad sejak revolusi hijau. Siapakah penggarap sawah ladang guna memenuhi perut-perut kita yang selalu lapar? Kita tidak bisa, bahkan tidak boleh, menyalahkan masyarakat petani ihwal sudut pandang yang mereka ambil karena persepsi mereka terbentuk akibat berbagai tekanan.

Pertama, pembangunan tidak dilaksanakan secara komprehensif dan multidimensi. Pembangunan negara hendaknya merengkuh setidaknya tiga dimensi; ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan secara berimbang dan berkesinambungan (Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, karya Mubyarto, 1983, terbitan Sinar Harapan).

Kesalahan klasik dalam pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan hanya ditujukan pada aspek ekonomi sehingga dua aspek lainnya menjadi tumbal. Program peningkatan produksi pertanian lewat panca usaha tani dalam laku pemupukan dan pemberantasan hama secara kimiawi berdampak penurunan kesehatan ligkungan sekaligus kesehatan masyarakat yang kini banyak jadi perhatian.

Yang paling menyesakkan dada adalah mereka (para petani) dijadikan boneka yang dimainkan aparatur negara yang selalu kelaparan akan pundi-pundi pasar global dan modal. Masyarakat petani menganggap diri selayaknya bidak catur yang arahnya tidak bisa menolak atau membantah gerakan tangan sang dalang (penguasa: pemerintah, swasta, pemilik modal).

Kedua, sebagian besar petani mempersiapkan anak-anak mereka memperoleh pekerjaan yang dianggap lebih baik, pekerjaan yang dianggap menjanjikan atau keren, yakni menempati kursi-kursi empuk dalam ruangan ber-AC dengan rutinitas teratur tiap hari.

Menjadi petani sering dikonotasikan dengan pekerjaan kasar, berkubang di bawah terik matahari, dengan kehidupan sehari-hari serbasusah atau hanya pas-pasan (rekasa) dan sering dipermainkan pelaku pasar dan pemilik modal.

Anak-anak yang terlahir dari keluarga petani cenderung menghindari pekerjaan bercocok tanam. Kalangan muda cenderung menilai pekerjaan di kota-kota besar lebih menjanjikan secara ekonomi dan dianggap lebih bergengsi.

Tidak mengherankan jika arus urbaniasasi dari golongan usia produktif cenderung meningkat tiap tahun. Menjadi hal biasa jika petani menjual lahan untuk membiayai anaknya agar bisa bekerja di ruang ber-AC.

Sawah dan ladang di perdesaan menjadi barang sewaan dan dapat diperjualbelikan untuk pembangunan sektor industri, perumahan, dan perkantoran. Pengalaman pahit masa lalu dan perlakuan kurang mengenakkan yang dirasakan keluarga petani sedapat mungkin menjadi bahan refleksi untuk menyadarkan kembali arti penting pertanian sebagai pembangun peradaban.

Peringatan Hari Agraria yang jatuh pada 24 September seyogianya menjadi momentum untuk meluhurkan kembali ”profesi” petani yang menjalani hidup harmonis dengan alam dan bahan introspeksi pemangku kekuasaan yang mengayomi mereka. Tak kalah penting adalah membangun mindset pemuda, mahasiswa, untuk setia pada sektor agraria sebagai penopang negara.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif