Kolom
Rabu, 23 September 2015 - 06:30 WIB

GAGASAN : Radikalisme Cinta Keluarga Ibrahim

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (22/9/2015), ditulis M. Fauzi Sukri. Penulis adalah peminat filsafat pendidikan, ekonomi politik, dan filsafat agama Aktif di Bilik Literasi.

Solopos.com, SOLO — Keluarga Nabi Ibrahim adalah keluarga radikal dramatis yang mengguncang sekaligus menggetarkan kehidupan keluarga besar umat manusia. Kisah keluarga Ibrahim adalah kisah terbesar yang pernah ada dalam sejarah kehidupan keluarga manusia.

Advertisement

Seperti kita tahu, sekian abad kemudian, laku keluarga Ibrahim diperingati secara kolosal dalam ritual terakbar dalam sejarah agama-agama monoteisme dunia: ibadah haji. Keluarga Ibrahim adalah epos radikal dramatis yang dirayakan jutaan manusia.

Radikalisme dramatis yang mengguncang dan menggetarkan kehidupan itu berpuncak pada perintah ”bengis” yang tak akan terampuni dengan pendekatan nalar, hati, dan nurani manusia-manusia mutakhir: Tuhan memerintah Ibrahim menyembelih dan mengurbankan anak tersayang dan satu-satunya: Ismail.

Kala itu Ismail masih remaja. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan yang dikurbankan adalah Ishak seperti dalam pemahaman umat Kristen atau Yahudi, tapi ada juga yang berpendapat yang dikurbankan Ismail, dengan argumentasi yang sama kuat.

Advertisement

Keberanian atau kenekatan Ibrahim menaati perintah ini begitu menggetarkan umat manusia. Tak mengherankan jika Ibrahim, dalam Islam, disebut sebagai ”kekasih Allah” (Al Kholil) karena begitu dahsyatnya pengurbanan Ibrahim untuk membuktikan cintanya.

Anaknya sendiri yang begitu terkasih, atas perintah Allah untuk menguji cinta dan iman Ibrahim, dipertaruhkan untuk membuktikan cinta dan iman Ibrahim.

Kita bayangkan, seandainya Ibrahim hanya diperintahkan membunuh dirinya sendiri, tentu saja hal yang sangat mudah baginya, seperti yang masih terus saja terjadi dalam kisah pengorbanan para pemabuk asmara. Begitu juga jika hanya diperintah memerangi yang tidak seiman dengan Ibrahim, itu juga hal yang sangat mudah.

Manusia sering bisa dengan enteng membunuh sesama manusia hanya karena alasan yang begitu sepele, apalagi jika alasannya adalah keimanan, tentu jauh lebih mudah. Inilah salah satu alasan kenapa terorisme pada manusia atas nama Tuhan begitu gampang.

Advertisement

Ketika yang harus dikorbankan adalah yang terkasih, yang dimohonkan dengan sepenuh harap nan haru, yang berpuluh tahun diharapkan kehadirannya, apalagi sang ayah sebenarnya tidak punya hak atas tubuh anaknya yang terkasih, pengorbanan itu bukanlah hal yang sepele, bukan hal yang sedikit.

Itu  sungguh pengorbanan yang teramat banyak sekali. Dalam kehidupan kita, yang tercinta selalu yang paling bernilai dan tak terhargakan. Itu adalah pengorbanan penghabisan yang tandas! Pengurbanan bukan pemberian.

Pengurbanan adalah penghabisan yang paling terakhir dari yang paling dikasihi untuk dimiliki. Penghabisan! Penghabisan itu, dalam kisah keluarga Ibrahim, bertaut dengan kesedihan dan kepiluan.

Sejak awal, kehidupan keluarga Ibrahim seakan dalam pengujian terus-menerus. Berpuluh-puluh tahun kehidupan keluarganya tidak dikaruniai seorang anak, pada masa seorang anak adalah permata sosial politik keagamaan.

Advertisement

Ibrahim kemudian harus menikah lagi dengan persetujuan istrinya. Istri kedua Ibrahim ini adalah pilihan istri yang pertama (duh, untuk perempuan sekarang ini tentu sangat berat!). Saat punya anak, seakan dengan enteng, Tuhan memerintahkan sang anak dan istrinya agar ditinggalkan di padang pasir yang tandus, tapi beruntung ada mata air zamzam.

Tentu saja Ibrahim dipaksa berpisah dengan istri dan anak yang bertahun-tahun diharapkan itu. Dan puncaknya, sebagai bapak, Ibrahim dipaksa untuk mengurbankan sang buah hati!

Perintah pengurbanan ini, dalam sejarah agama monoteisme, sungguh mengguncangkan nurani kemanusiaan. Ini adalah perintah ”bengis” yang tak masuk akal, perintah yang ”barbar”, perintah yang tidak berperikemanusiaan. [Baca: Abadi dan Fana]

 

Advertisement

Abadi dan Fana
Ibrahim pasti tidak tega dan tidak berani menghadapi istrinya, Siti Hajar, yang telah mengasuh anak mereka sejak kecil dengan sepenuh kasih, tapi saat sudah remaja dan menjadi tumpuan harapan, sang anak, Ismail yang gemilang, harus dikurbankan.

Pengurbanan itu demi cinta dan iman sang bapak. Betapa sebuah kehilangan besar bagi Hajar, bagi Ibrahim, di dunia ini. Ibrahim, sebagai seorang bapak, apakah tega dan tak bernurani sampai mengurbankan anak terkasih, terutama saat memegang pisau tajam, melihat ekspresi wajah Ismail yang pasrah di hadapan mata pisau, melihat buah hati terkasih yang sebentar lagi akan menghilang-meninggal selama-lamanya, dengan tangannya sendiri dan di hadapan matanya sendiri?

Apa salah Ismail? Bapak mana yang setega itu? Apalah arti kehidupan Ibrahim jika dia sampai tega membunuh anak terkasihnya sendiri? Bagaimana harus menghadapi gempuran dan gemuruh pertanyaan moral yang datang menyayat dari diri sendiri terus-menerus?

Apalah arti kehidupan setelah pengurbanan itu, betapa pun Tuhan ada dan mencintainya? Apalah arti Tuhan atas perintah ”bengis” ini yang tak pernah ada dalam sejarah agama-agama sebelum Ibrahim?

Apalah arti cinta dan iman, jika pertaruhan itu begitu penghabisan yang bukan diri Ibrahim sendiri, tapi bahkan orang lain, anaknya dan istrinya terkasih?

Tuhan begitu cemburu pada cinta Ibrahim pada anak terkasihnya. Tuhan begitu berkuasa dan absolut atas cinta manusia. Ibrahim lebih memilih cinta Tuhan. Kenapa yang abadi begitu menginginkan yang fana?

Advertisement

Kemampuan apa yang membuat Ibrahim memutuskan memilih cinta Tuhan di atas cinta pada manusia, anaknya terkasih? Sebuah keputusan absolut yang menggetarkan nurani manusia.

Dalam pengurbanan Ibrahim, kita melihat dilema maha dahsyat yang menyandera Ibrahim: antara memilih Tuhan yang abadi yang masih memiliki waktu yang panjang dan memilih yang fana dan sementara tapi begitu dicintai dan dirindukan yang tak akan punya kesempatan kedua lagi untuk bertemu.

Kehadiran yang fana itu juga atas kehendak, perkenan, dan keinginan Tuhan maka menjadi hal yang juga tak ternilai. Untuk yang abadi, kesempatan juga abadi; untuk yang fana, begitu sedikit dan cupet waktu yang tersedia.

Dalam kehidupan manusia, untuk kasih mencintai, satu detik seakan tak ingin terlewati dan 1.000 tahun begitu sedikit dan tak memadai; tapi untuk saling membenci dan menyakiti sedetik begitu abadi.

Semuanya harus diputuskan di hadapan kematian dahsyat yang membayangi Ibrahim dan Ismail. Di hadapan kematian semua yang ada di dunia adalah penghabisan, yang terakhir, tak bakal tersisa, bahkan apalah arti kuburan meski begitu megah.

Kurban hanya menjadi berarti dan sakral karena penghabisan yang tandas dari yang paling berharga. Jika manusia percaya terhadap hari akhir, itu bukanlah sebagai kompensasi dari kehidupan nyata yang harus dijalani hari ini, yang bukan atas kehendak manusia sendiri.

Semua umat agama, yang percaya pada hari akhir, tetap melakukan semua perintah agama di dunia, bukan di akhirat. Di hadapan kematian, semua keputusan menjadi laku pengorbanan.

Dalam memutuskan martir pengorbanan, sebagai seorang bapak, Ibrahim bermusyawarah dengan Ismail. Saya tak bisa membayangkan wajah Ibrahim saat mengatakan perintah Tuhan itu kepada Ismail.

Adakah Ibrahim masih berwajah manusia, seorang bapak, atau hanya seorang kekasih yang dikuasai Allah? Dalam dialog yang masyhur itu, Ibrahim tetap mengutarakan maksudnya, yang disambut dengan tenang nan takzim dari Ismail.

”Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku benar-benar menyembelih dirimu. Apa pendapatmu?” kata Ibrahim, yang menggunakan kata mimpi untuk melunakkan perintah ”keras” itu.

”Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan. Semoga saya termasuk orang-orang yang sabar, insya Allah,” kata Ismail dengan nada tenang. Berangkatlan mereka ke altar pengurbanan. Pengurbanan itu tak menghabisi manusia.

Tuhan tak menghendaki manusia menjadi kurban. Dari kisah pengurbanan Ismail (atau Ishak), kita tahu bahwa pengurbanan nyawa manusia tak pernah dikehendaki.

Ibrahim berhasil menguji kesucian iman asmaranya dengan memuliakan manusia dan alam semesta. Inilah yang kemudian menjadikan keluarga sebagai silsilah tiga agama monoteisme dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam. Salam atas Ibrahim, Ismail, dan keluarganya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif