News
Selasa, 22 September 2015 - 02:21 WIB

KURS RUPIAH : BI Perlu Tekan Nilai Tukar Rupiah

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana seminar yang diadakan FEB UGM yang mengangkat tajuk ”Balancing Indonesia Economy” di Hotel Tentrem Jogja, Sabtu (21/9/2015). (JIBIU/Harian Jogja/Joko Nugroho)

Kurs rupiah yang tak kunjung menguat mendapat perhatian sejumlah pengamat.

Harianjogja.com, SLEMAN – Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM menggelar acara seminar bertajuk ”Balancing Indonesia Economy” di Hotel Tentrem Jogja, Sabtu (21/9/2015). Guru besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof Dr Bambang Sudibyo MBA mengatakan, pertumbuhan ekonomi RI hingga akhir tahun ini hanya berkisar 4,7%.

Advertisement

Melambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan faktor internal karena pertumbuhan investasi dan konsumsi yang cenderung menurun, serta lambatnya penyerapan APBN. Sementara faktor eksternal disebabkan melemahnya harga komoditas dan dampak negatif dari kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat.

“Amerika tidak punya ruang moneter, bunga acuan hampir 0%. Sekarang mereka menciptakan ruang moneter secara pelan-pelan menaikkan suku bunga, tapi itu belum dilakukan, dampaknya pada nilai tukar rupiah,” kata Bambang saat membuka acara tersebut.

Advertisement

“Amerika tidak punya ruang moneter, bunga acuan hampir 0%. Sekarang mereka menciptakan ruang moneter secara pelan-pelan menaikkan suku bunga, tapi itu belum dilakukan, dampaknya pada nilai tukar rupiah,” kata Bambang saat membuka acara tersebut.

Atas kondisi faktor internal dan ekternal ini, Bambang mengaku sudah menduga Bank Indonesia (BI), IMF dan Bank Dunia merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi global juga direvisi dimana sebelumnya diprediksi tumbuh 3,5% lalu direvisi jadi 3%.

Menyoroti kondisi ekonomi di tanah air, beberapa indikator yang menunjukkan melambatnya ekonomi Indonesia, diantaranya jumlah impor bahan baku hingga bulan April (jelang puasa dan lebaran) menurun hingga 22% dibanding tahun lalu. Hal itu disebabkan adanya penurunan daya beli masyarakat.

Advertisement

”Yang naik hanya ekspor sepeda motor, padahal penjualan otomotif di dalam negeri menurun hingga 16%, ekspor semen kita juga meningkat namun masih minim,” jelas Bambang.

Melambatnya ekonomi dalam negeri dikatakan Bambang telah menguras cadangan devisa negara. Apabila pada periode bulan Desember tahun lalu cadangan devisa mencapai 111,9 milyar dollar, hingga bulan juni lalu jumlahnya menurun hingga 108 milyar dollar. “Bisa jadi sekarang 105 milyar dollar,” katanya.

Bambang mengatakan masih ada optimisme ekonomi Indonesia. Tidak hanya itu, surat hutang RI saat ini termasuk tetinggi di Asean dan jumlah hutang luar negeri yang terus bertambah sejak 2010, namun rasio hutang dinilai Bambang masih dalam kondisi baik, yakni 33,48%.

Advertisement

“Penyebab nilai hutang ini bertambah karena depresiasi rupiah, bila BI tidak berbuat apa-apa,kondisi rupiah terus melemah. Nilai tukar rupiah terus tertahan atau tersandera oleh kebijakan bank sentral Amerika, masih akan lama ini gojang ganjing,” kata Bambang.

Pengamat ekonomi dari Australian National University, Prof Hal Hill mengatakan pemerintahan di era presiden Jokowi memiliki pekerjaan rumah yang lebih besar dalam bidang ekonomi. Pekerjaan rumah yang dimaksud oleh Hall Hill adalah menaikkan pendapatan perkapita masyarakat.

Menurutnya untuk urusan yang satu ini, Indonesia termasuk yang tertinggal dibanding dengan China dan India. Padahal di era tahun 60-an, pendapatan perkapita Indonesia sama dengan kedua negara tersebut.

Advertisement

“Namun berselang 40 tahun kemudian, pendapatan perkapita indonesia hanya naik 5,5 kali lipat. Sebaliknya China naik 12 kali lipat. Bahkan pendapatan per kapitan Indonesia kalah dari Malaysia yang naik 7,9 kali dan Thailand yang naik 8 kali lipat. Indonesia hanya unggul dari Filipina,” kata Hill.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif