Kolom
Senin, 21 September 2015 - 13:00 WIB

GAGASAN : Sepintas Memahami Perbedaan Iduladha

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Kholid Asyadulloh (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (21/9/2015), ditulis Muhammad Kholid Asyadulloh. Penulis adalah alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki dan mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.

Solopos.com, SOLO — Tidak seperti Idulfitri lalu yang dirayakan bersamaan, Iduladha tahun ini (kembali) dirayakan berbeda. Ada sebagian yang menetapkan pada 23 September dan ada pula yang keesokan harinya.

Advertisement

Jika boleh disimplifikasikan, perbedaan ini terjadi karena salah satunya berpijak pada ”penanggalan hijriah” di negara yang bersangkutan, sementara pihak lain berdasarkan pada wukuf jemaah haji di Arafah sehari sebelum Iduladha.

Kalangan yang berpijak pada wukuf tentu tidak begitu ”bermasalah” karena tinggal menengok ke Arab Saudi, meski bisa jadi Iduladha-nya tidak persis 10 Zulhijah kalender setempat.

Yang tidak kalah pelik juga terjadi pada kalangan yang berdasarkan ”penanggalan kamariah” dengan matlak negara masing-masing. Hampir semua negara ”Islam” menggunakan metode ini, tidak terkecuali Indonesia dengan motor dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Advertisement

Metode ini membuat penetapan Iduladha pada saat tertentu berbarengan dengan Arab Saudi, tapi tidak jarang terjadi perbedaan. Seperti pada 2015 ini, pemerintah dan NU bersamaan dengan Arab Saudi, Muhammadiyah yang berbeda.

Sebaliknya pada 2014 dan 2010, Muhammadiyah berbarengan dengan Arab Saudi, sementara pemerintah dan NU yang berada di jalur lain. Perbedaan pada kalangan yang berpijak ”penanggalan” berdasar matlak nasional (diwakili Muhammadiyah dan NU) dikarenakan perbedaan dalam mendeskripsikan ”hilal” sebagai penanda kedatangan bulan baru.

Bagi Muhammadiyah, yang terpenting adalah hilal sudah ada (wujud), tanpa harus melihat dengan mata telanjang (teropong) karena perkembangan dam kemajuan ilmu pengetahuan sudah bisa ”melihatnya”.

Sementara bagi NU, ”keberadaan” hilal bukan sebab berpuasa atau berbuka karena yang terpenting adalah ”melihatnya dengan mata telanjang”. Seperti pada Iduladha tahun ini, perbedaan didasari waktu ijtimak sebagai penanda akhir bulan kamariah berbeda hari dengan ”toleransi” ketinggian derajat hilal untuk diintip.

Advertisement

Pada 29 Zulkaidah 1436 H, 13 September 2015, memang telah terjadi ijtimak, tapi ketinggian bulan masih berada di bawah satu derajat ketika matahari terbenam. Kalangan rukyat menggenapkan Zulkaidah menjadi 30 hari karena ”hilal” tidak terlihat, sehingga 1 Zulhijah jatuh pada 15 September dan Iduladha (10 Zulhijah) 24 September.

Sering ada guyon, lantas pada 14 September itu bertepatan dengan tanggal berapa hijriah? Bagi yang berpegang pada hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal sebagaimana Muhammadiyah, kondisi 13 September lalu tidak memengaruhi keyakinan akan kedatangan bulan baru.

Bulan baru kamariah terjadi jika telah memenuhi tiga kriteria yang integral: telah terjadi ijtimak sebelum matahari terbenam dan hilal sudah berada di atas ufuk. Jika garis garis batas wujudul hilal melewati wilayah lndonesia menjadi dua bagian, daerah yang hilalnya belum wujud mengikuti daerah yang sudah wujud.

Karena itu, 1 Zulhijah jatuh pada 14 September sehingga Iduladha 10 Zulhijah 1436 jatuh pada 23 September 2015.
Perlu diketahui, terdapat dua metode dalam penetapan awal bulan hijriah: rukyat dan hisab.

Advertisement

Dalam sistem rukyat bil’ain atau lazim disebut rukyat saja, mengharuskan seseorang melihat hilal tanggal 29 bulan kamariah. Jika hilal dapat dilihat sebelum matahari terbenam, malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru. Jika tidak kelihatan, disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari. [Baca: Kaidah]

 

Kaidah
Hisab hakiki didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya berdasarkan pada perhitungan astronomi dengan (hampir) mengabaikan rukyat dengan kasat mata. 

Bagi yang berpegang rukyat, metode mengintip hilal bersifat syar’i, bukan ranah ijtihadiah yang cara dan teknisnya bisa berubah.

Advertisement

Dasar nash-nya adalah hadis riwayat Muslim, shuumuu li ru’yatihi, wa afthiruu li ru’yatihi, fa in ghumma ‘alaikum fa-akmilu al-’iddata tsalaatsiina, berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berbukalah (berlebaran) kamu karena melihat bulan.

Artinya, ”cara melihat hilal” termasuk urusan ta’abbudi (ibadah), bukan muamalah sehingga berlaku kaidah al-ashlu fi al-asyya’ al-tahrim illa ma dalla al-dalil ‘ala tahlilihi (asal segala sesuatu adalah haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya).

Di ujung lain, kalangan yang berpegang pada hisab memaknai ”melihat hilal” hanyalah alat untuk menghitung. Melihat hilal bukanlah ibadah ta’abbudi yang harus mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW ketika masih hidup, tetapi semata-mata sarana (washilah) untuk mengetahui awal bulan kamariah.

Kaidah fiqhiyah yang berlaku adalah al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla al-dalil ‘ala tahrimihi (hukum asal segala sesuatu adalah boleh/halal, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya).

Bagi Muhammadiyah, masalah penentu awal bulan kamariah, khususnya dalam mengawali bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah masalah ta’aquli, bukan ta’abudi. Masalah ini masuk dalam otoritas akal manusia, bukan otoritas Tuhan maupun otoritas kerasulan dan kenabian.

Dalam masalah ta’aqquli (rasional) oleh Nabi Muhammad SAW diserahkan kepada manusia, sebagaimana hadis yang amat masyhur antum a’lamu biumuri dunyakum. Muhammadiyah meyakini kebenaran hisab hakiki sebagaimana yakinnya terhadap jadwal-imsakiah salat lima waktu sebagai produk ilmu hisab.

Advertisement

Hadis shahih shuumu lirukyatihi walaupun menggunakan shighat amar (perintah), dipahami sebagai lil-irsyaad (petunjuk). Nabi SAW membenarkan yang dipahami masyarakat pada saat itu bahwa melihat hilal sebagai tanda pergantian bulan dari bulan lama kepada bulan baru karena saat itu memang belum mengenal ilmu hisab sebagaimana terekam dalam hadits kunnaa ummatun ummiyatun laa naktub walaa nahsib, wasy syahru haa kadza wa haa kadza, fain ghumma alaikum faqduruulah.

Sementara sekarang, sudah banyak umat yang pandai menghitung secara teliti ilmu falak sehingga umat tidak lagi berposisi laa naktab walaa nahsib. Perbedaan yang tidak kalah fundamental juga terletak dalam memahami gabungan dua kata, ru’yatul hilal (melihat hilal).

Bagi kalangan hisab (hakiki), keterlihatan hilal tidak menjadi sebab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu. Sementara bagi kalangan rukyat, keterlihatan hilal merupakan ‘illat keharusan berpuasa atau berbuka.

Rukyat dipandang bukan sekadar metode, tetapi substansi atau bagian integral dari ibadah puasa Ramadan, Idul Fitri, maupun Idul Adha. Karena itu, meski sudah ditemukan metode hisab, aktivitas merukyat tetap menjadi satu keniscayaan agama yang tidak boleh ditinggalkan.

Melihat masih jauhnya jarak antara hisab dan rukyat tersebut, upaya mempersatukan keduanya memang patut dihargai. Usaha itu tentu tidak perlu dipaksa-paksakan “identik” dengan alasan persatuan dan lain sebagainya.

Perbedaan metode itu berkonsekuensi pada keyakinan keagamaan yang tentu saja harus dihormati oleh siapa pun. Bukan malah sebaliknya, melakukan intimidasi secara psikis maupun fisik.

Termasuk, jangan sampai terulang ada pejabat negara yang ”memolitisasi” ayat dan hadis dengan menghakimi kalangan yang berbeda sebagai bughat, tidak taat pada ulil amri, dan berbagai sebutan picik lainnya. Allah a’lam bi al-shawab.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif