News
Minggu, 20 September 2015 - 20:00 WIB

JALUR KERETA API : 455 Km Rel KA di Jateng Mangkrak Puluhan Tahun

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi rel kereta api (KA) (Dok/JIBI/Solopos)

Jalur kereta api di Jawa banyak yang mati. Perhatian pemerintah dinilai rendah.

Solopos.com, SOLO — Jateng memiliki 455 km jalur kereta api (KA) mangkrak alias nonaktif yang melintas dari Semarang hingga Bojonegoro. Padahal jika diaktifkan, rel tersebut mampu meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.

Advertisement

Pakar transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan jalur KA tersebut sudah tidak beroperasi pada 1980-an karena kalah bersaing dengan transportasi berbasis jalan raya. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap transportasi massal juga rendah. Jalur KA Semarang-Bojonegoro ini merupakan bagian dari 2.140 km jalur KA nonaktif yang tersebar dari Banten hingga Madura.

Dia menjelaskan jalur KA tersebut diantaranya meliputi rute Semarang-Demak-Kudus-Pati-Juwana-Rembang-Lasem-Bojonegoro (106 km), Demak-Purwodadi-Blora (9 km), Purwodadi-Ngrombo (9 km), Pengkol-Kradenan (8 km), Kudus-Mayong-Bakalan/Pecangan/Welahan (28 km), Juwana-Bulumanis-Tayu (25 km), dan Rembang-Blora-Cepu (74 km). Selain itu, ada juga jalur KA dari Stasiun Juwana (Pati) menuju pelabuhan niaga Juana.

“Pada pemerintahan Hindia Belanda, jalur KA tersebut tidak hanya mengangkut orang, tapi juga untuk mendukung peningkatan sektor ekonomi. Jalur tersebut digunakan untuk mengangkut komoditas utama, seperti pertanian, kehutanan [kayu jati], karung goni, dan gula,” ungkap Dosen Universitas Soegijapranata Katolik (Unika) Semarang ini kepada Solopos.com, Minggu (20/9/2015).

Advertisement

Dia menerangkan di jalur tersebut terdapat sejumlah pabrik gula. Apalagi di Pati dan Rembang juga ada pabrik semen. Oleh karena itu, pengoperasian kembali jalur ini merupakan keharusan supaya jalan raya tidak cepat rusak dan akses lebih mudah, apalagi jika dibangun akses langsung menuju Pelabuhan Rembang.

“Koridor Semarang-Bojonegoro ini dulunya terdapat 23 Stasiun dan 78 halte. Sekitar 80% lebih, lokasi halte berada di pedesaan sehingga mengaktifkan koridor ini dapat menghidupkan ekonomi pedesaan. Apabila ekonomi pedesaan bergerak akan mengurangi laku urbanisasi,” kata dia.

Mantan Ketua Organisasi Pengusaha Angkutan Bermotor di Jalan Raya (Organda), Eka Sari Lorena, menilai stasiun yang terintegrasi dengan halte dapat menjawab kebutuhan transportasi masyarakat. Menurut dia, masyarakat enggan menggunakan transportasi massal juga dipengaruhi sulitnya akses menuju ke lokasi tujuan.

Advertisement

“Tidak dipungkiri KA menyedot penumpang bus, tapi pengembangan jalur KA memang dibutuhkan untuk menjangkau lebih banyak wilayah. Pengusaha otobus [PO] bisa mengubah rute dan menyesuaian sehingga menjadi feeder [pengumpan] untuk menghubungkan ke berbagai wilayah,” ujarnya.

Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) Solo, Yosca Herman Soedradjad, menyampaikan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sudah memiliki sistem transportasi yang matang. Diharapkan pada 2017, koridor yang ada sudah bisa dioperasikan sehingga dapat menghubungkan berbagai titik dan berbagai sarana penting di Solo dan sekitarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif