Jogja
Jumat, 18 September 2015 - 09:10 WIB

PERTANIAN BANTUL : 150 Hektare Bawang Merah Gagal Berbuah, Petani Klaim Rugi Rp20 Miliar

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah petani menyortir tanaman bawang merah yang masih dapat dipanen untuk dijadikan bibit, Kamis (17/9/2015) di Dusun Samiran, Parangtritis, Kretek. Ratusan hektare lahan bawang di wilayah ini gagal panen akibat serangan hama. (JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Pertanian Bantul berupa bawang merah diserang jamur stempelium.

Harianjogja.com, BANTUL– Ratusan hektare tanaman bawang merah di Desa Parangtritis, Kretek, Bantul gagal berbuah. Petani mengklaim rugi Rp20 miliar.

Advertisement

Gagal panen dialami hampir seluruh petani di Parangtritis. Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Parangtritis Kadiso mengungkapkan, terdapat 167 hektare tanaman bawang merah pada musim tanam II tahun ini. Namuan hanya 10% diantaranya yang menghasilkan bawang dengan kapasitas normal sebanyak 18 ton per hektare. Sedangkan lainnya sekitar 150 hektare gagal berbuah seperti kondisi normal.

“Kebanyakan gagal berbuah, tidak ada buahnya, kalaupun buahnya ada kecil-kecil tidak mau tumbuh besar,” ungkap Kadiso, ditemui Kamis (17/9/2015) di Parangtritis. Gagalnya tanaman bawang menghasilkan umbi disebabkan serangan jamur stempelium. Pemerintah desa telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel tanaman bawang yang gagal berbuah.

Jamur yang jarang menyerang tanaman bawang itu diyakini muncul karena pengaruh cuaca dingin berkepanjangan. Kondisi tersebut diperparah dengan campuran angin mengandung garam yang berasal dari laut maupun tambak udang di pesisir. “Memang pemicunya jamur, tapi tambak juga memperparah keadaan,” papar dia.

Advertisement

Kelompok tani telah menghitung kerugian akibat serangan jamur itu. Nilainya diklaim mencapai Rp20 miliar. Angka tersebut lebih tinggi dibanding kerugian tanaman bawang akibat banjir pada musim tanam I awal tahun lalu, yang hanya senilai Rp10,8 miliar. Produksi bawang menurutnya memakan biaya jauh lebih mahal ketimbang padi. Baik untuk pembelian bibit, obat dan pupuk.

“Terus terang kondisi sekarang lebih parah karena petani sudah terlanjur mengeluarkan biaya untuk semua obat dan pupuk. Kalau dulu saat banjir, proses produksi baru berlangsung sebagian,” jelasnya.

Kadiso menambahkan, petani tidak mendapat info yang lengkap ihwal perkiraan cuaca dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengenai kemarau panjang. Lembaga ini hanya menyampaikan kemarau berlangsung lama tanpa menjelaskan adanya suhu dingin berkepanjangan. Alhasil kata dia, petani tidak mempersiapkan diri menghadapi cuaca ekstrim.

Advertisement

“Padahal kalau tahu cuaca juga dingin berkepanjangan selain kemarau, petani bisa antisipasi dengan menggunakan varietas tertentu untuk bibit bawang yang lebih tahan,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif