Kolom
Jumat, 18 September 2015 - 12:15 WIB

GAGASAN : Robohnya Benteng Terakhir Sastra Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (17/9/2015), ditulis Tito Setyo Budi. Penulis adalah dosen STKIP PGRI Ngawi dan peserta program doktor di ISI Solo.

Solopos.com, SOLO — Ketika 14 tahun yang lampau oleh teman-teman saya didhapuk menjadi Ketua Panitia Penyelenggara  Kongres Sastra Jawa I yang diselenggarakan di Taman Budaya Surakarta (TBS), Solo (Solopos, 7 Juli 2001), orang pertama yang saya hubungi adalah Suparto Brata.

Advertisement

Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, dia bukan saja pengarang sastra Jawa senior, tapi sudah menjadi ”Begawan” tempat berguru para pengarang dari generasi yang lebih muda. Kedua, dialah satu-satunya yang masih tersisa setelah dua maestro yang lain, Esmiet dan Tamsir A.S., murud ing kasedan jati, wafat.

Ketiga, wawasan dan kecintaannya terhadap sastra Jawa begitu excellence, sulit dicari tandingannya. Sayangnya, waktu itu–melalui telepon–Mbah Parto, demikian dia biasa dipanggil, tak bisa hadir dengan alasan gerah, sedang tidak sehat.

Kata gerah di sini memang bisa ditafsirkan dalam dua bahasa. Pertama, gerah dalam bahasa Jawa yang artinya lara, sakit (Bausastra Jawa, 1987: 112). Kedua, ”gerah” dalam bahasa Indonesia yang berarti (1) kepanasan dan (2) merasa tidak tenang karena ada sesuatu yang mengusik (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2003: 356).

Advertisement

Maklumlah, waktu itu munculnya gagasan melahirkan Kongres Sastra Jawa (KSJ) dibarengi dengan isu santer soal tak puasnya sejumlah pengarang sastra Jawa yang merasa diabaikan oleh penyelenggara Kongres Bahasa Jawa (KBJ) untuk kesekian kalinya.

Jadi bagi yang berjiwa heroik, munculnya KSJ dimaknai sebagai tandingan KBJ. Ini yang membuat Mbah Parto yang berjiwa halus, ruruh jatmika, tak suka bertengkar, lebih memilih menghindar, tak masuk dalam ”keributan” semacam itu.

Ketidakhadiran Mbah Parto waktu itu jelas membuat sekitar seratusan  pengarang yang berkumpul merasa kecewa. Saya dua kali kecewa karena gagal mempertemukan Mbah Parto dengan dua pendekar sastra yang lain yang kami undang, yaitu Mas W.S. Rendra dan Kangmas Arswendo Atmowiloto yang akhirnya tampil sebagai ”big boss” dengan menanggung semua biaya KSJ sekaligus mengembalikan uang saweran dari seluruh peserta.

Mungkin semacam menebus kekecewaan, saat ada pertemuan sastrawan Jawa di Solo beberapa tahun kemudian Mbah Parto meminta saya untuk diantar berkeliling Sragen, terutama di kampung sekitar Pasar Hewan (salah satu latar dari novelnya yang berjudul Saksi Mata) yang lokasinya di pinggiran ibu kota Sragen sebelah utara.

Advertisement

Konon, di kawasan itulah dia pernah tinggal dan mulai bersekolah. Ibunya menjadi abdi di Rumah Dinas Bupati Sragen. Suparto kecil bisa belajar membaca Dongeng Kancil dalam bahasa Belanda melalui para ndrajeng (ndara ajeng), putri-putri bupati. [Baca: Ora Payu Dole]

 

Ora Payu Dole
Menginap satu malam di rumah saya, Mbah Parto bercerita banyak tentang kehidupan dan terutama kecintaannya kepada sastra Jawa. Usianya yang hampir menyentuh angka 80, waktu itu, tak membuatnya menggeh-menggeh, sesak napas, ketika naik turun dari dan ke kamar di lantai II yang saya sediakan.

Dia menampakkan raut wajah senang ketika melihat di perpustakaan pribadi saya ada sederet buku hasil karyanya yang saya kelompokkan secara khusus. Beberapa di antaranya ditandatangani dan disertai ucapan tertulis ”terima kasih telah membeli dan membaca buku karangan saya”.

Advertisement

Benar apa yang ditulis jurnalis Solopos, Ichwan Prasetyo (Solopos, 14 September 2015), hampir di setiap kesempatan Suparto Brata mengumandangkan kredonya: sastra itu buku. Dia begitu gelisah ketika menyaksikan ribuan karya sastra hanya terbit dalam lembaran majalah-majalah berbahasa Jawa yang semakin  lama jumlahnya semakin menciut.

Kini hanya tinggal tiga, dua di Surabaya (Panjebar Semangat dan Jaya Baya) dan satu di Jogja (Djaka Lodang).  Jika demikian halnya, lambat namun pasti sastra Jawa akan punah di tangan tukang-tukang loak. Agar sastra Jawa memiliki daya lestari, yang bisa dibaca setiap waktu oleh bebrayan agung, generasi penerus masyarakat Jawa, karya-karya sastra itu haruslah berbentuk buku.

Suparto Brata tak hanya ngomong dan jualan kredo. Dia sendiri memelopori penerbitan buku karya-karyanya. Saat hampir semua penerbit ogah mencetak buku-buku berbahasa Jawa, karena kata Arswendo Atmowiloto: ora  payu dole (tidak laku dijual), Suparto merogoh koceknya dalam-dalam untuk mendanai.

Bukan hanya satu dua, tapi mencapai belasan judul. Sebut antara lain Tretes Tintrim, Garuda Putih, Jaring Kalamangga, Kelangan Satang, Jemini. Beberapa teman pangarang sastra Jawa juga dibantu biaya penerbitan bukunya.

Advertisement

Yang mengagumkan, untuk menggairahkan kritik sastra Jawa yang nyaris punah sepeninggal kritikus Suripan Sadi Hutomo, Suparto Brata memancingnya lewat sayembara menulis kritik di sebuah majalah berbahasa Jawa. Dia pula yang menyediakan sejumlah uang sebagai hadiahnya, meski saat ditanya dia menolak untuk mengakui.

Lahir di Surabaya, Sabtu Legi 27 Februari 1932, hingga wafatnya Jumat Pon 11 September 2015 lalu, setidaknya Suparto Brata telah menulis hampir 200 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Perjuangan yang panjang dan tidak mudah.

Ini sebagaimana yang tergambar secara lugas dan dramatis dalam bukunya Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa (Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981). Kisah yang tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan, misalnya, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I-IV karya H.B. Jassin, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia karya Ajip Rosidi, atau Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru karya A. Teeuw.

Sepeninggal Suparto Brata menyusul sederet pertanyaan yang tak mudah dijawab dalam rentang waktu setahun atau dua tahun. Bisa jadi sampai puluhan tahun kemudian. Siapakah pengarang sastra Jawa generasi kini yang bisa menggantikan kedudukannya?

Dahulu tatkala Esmiet meninggal orang masih berharap toh masih ada Tamsir A.S. dan Suparto Brata. Ketika Tamsir menyusul Esmiet, orang masih berbesar hati karena masih memiliki Suparto Brata. Kini Suparto Brata pun pulang ke haribaan Sang Khalik. Lalu siapa lagi yang hendak diharapkan?

Ini bukan berarti mengecilkan peran pengarang sastra Jawa generasi sekarang, tapi harus dicatat, selama kurun waktu tiga dasawarsa, era 1960-an hingga  1990-an,  trio maestro –Esmiet, Tamsir A.S., dan Suparto Brata–itulah yang secara bergiliran mengisi cerita bersambung di semua majalah berbahasa Jawa yang masih tersisa.

Advertisement

Ketiganya merupakan pengarang anapas landhung, mampu membuat cerita serial yang panjang-panjang. Cerita bersambung (crita sambung) tetap bisa dibaca sampai sekarang. Tetap ada yang menulis dengan nama yang bergantian. Aura dan pesonanya rasa-rasanya tak sanggup menggeser ketiga swargi (mendiang) tersebut.

Hampir setiap tulisan, oleh siapa pun, di mana pun, yang membahas perkembangan sastra Jawa tak pernah absen nama Suparto Brata pasti disebut. Seakan dialah benteng terakhir kemegahan sastra Jawa. [Baca: Hanya Ilusi]

 

Hanya Ilusi
Mudah-mudahan dugaan, kekhawatiran, kecemasan semacam itu hanyalah ilusi atau tak lebih dari sebuah kecengengan romatik karena begitu menggelora kecintaan dan kekaguman kepada Sang Begawan Sastra Jawa.

Di antara barisan yang pesimistis, pasti tetap ada yang optimistis. Satu di antaranya Arkandi Sari, Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat (PS) yang mengatakan,”Selagi bahasa Jawa masih diucapkan orang, PS masih punya tempat dalam masyarakat” (Kompas, 12 September 2015). Yang berarti karya sastra Jawa masih akan terus ditulis dan dibaca orang. Saya sendiri percaya, sastra Jawa tak akan mati sebab memang tak punya kuburan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif