Jogja
Rabu, 16 September 2015 - 22:20 WIB

HARGA KEBUTUHAN POKOK : Belum Panen Raya, Harga Cabai di Jogja Sudah Anjlok

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi tanaman cabai. (JIBI/Harian Jogja/Wahyu Darmawan)

Harga kebutuhan pokok untuk komoditas cabai sudah anjlok, padahal belum masuk panen raya

Harianjogja.com, BANTUL-Kendati belum panen, harga cabai di Bantul ikut mengalami penurunan. Anjloknya harga komoditas cabai di beberapa titik pasar tradisional Bantul bahkan hingga mencapai Rp10.000.

Advertisement

Disinyalir, hal ini merupakan dampak dari merebaknya praktek tengkulak pada rantai distribusi komoditas sayur di DIY. Pasalnya, penurunan harga komoditas di pasaran biasanya memang disebabkan oleh melimpahnya stok akibat panen yang bersamaan.

Rujito, salah satu petani cabai di kawasan Samas membenarkan, saat ini pihaknya memang masih belum melakukan panen cabai. Diperkirakannya, panen baru akan ia lakukan setidaknya pada bulan Oktober mendatang.

Advertisement

Rujito, salah satu petani cabai di kawasan Samas membenarkan, saat ini pihaknya memang masih belum melakukan panen cabai. Diperkirakannya, panen baru akan ia lakukan setidaknya pada bulan Oktober mendatang.

Itulah sebabnya, sebagai petani, ia pun heran dengan anjloknya harga cabai di pasar. Pasalnya, suplai dari beberapa sentra komoditas cabai di DIY dirasanya pun belum begitu melimpah. “Saya khawatir, anjloknya harga ini terus terjadi hingga panen nanti,” kata Rujito saat dihubungi Harian Jogja, Selasa (15/9/2015) siang.

Diakuinya, beberapa titik memang sudah melakukan panen. Dari hasil panen itu, ia membenarkan bahwa harga jual dari petani terus anjlok. Untuk komoditas cabe besar, harga jual dari petani, diakuinya tak lebih dari Rp9.000 saja. sedangkan untuk komoditas cabe rawit, harga jualnya berkisar di angka Rp19.000. “Saya heran, padahal kan barangnya sedikit,” imbuhnya.

Advertisement

Bagi Rujito dan petani cabai lainnya, hal itulah yang kini menjadi persoalan terbesar. Betapa tidak, anjloknya harga itu terus diikuti dengan lonjakan harga pupuk dan obat-obatan.

Terlebih, arahan pemerintah untuk tidak menyerempakkan pola tanam membuat tanaman pun menjadi rentan penyakit. Dengan begitu, mau tak mau, petani pun harus mengeluarkan uang tambahan guna membeli obat-obatan untuk meminimalisasi berkembangnya penyakit.

Terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Bantul mengakui, hingga kini pemerintah kabupaten (pemkab) Bantul belum bisa mengatasi persoalan tengkulak ini. Diakuinya, pihak Dipertahut memang tak memiliki kewenangan penuh dalam mengendalikan keberadaan tengkulak tersebut. “Kewenangan kami itu hanya menanam [komoditas] saja,” ucapnya.

Advertisement

Ia menuturkan, sejauh ini tata niaga untuk komoditas selain padi memang belum diatur oleh pemerintah. Akibatnya, rantai distribusi pun berjalan tanpa pengawasan ketat.

Permainan tengkulak itu menjadi sangat terdampak pada komoditas cabai. Pasalnya, dibandingkan dengan komoditas lainnya, cabai memang memiliki umur buah yang jauh lebih pendek. Karena itulah, ia menilai komoditas cabai adalah lahan empuk bagi para tengkulak, terutama ketika stok komoditas itu tengah melimpah.

Atas alasan itulah, para petani cabai di Bantul tidak diarahkannya untuk menanam secara serempak. Hal itu dilakukan guna menghindari tumpukan stok.

Advertisement

Diakuinya, jika total luasan 300 hektare lahan cabai di Bantul melakukan panen serempak, maka pihaknya bisa mendapatkan rata-rata produksi cabai sebanyak 6 ton per hektare. Hingga kini, dari total luasan itu, baru 5-10% saja yang sudah memanen tanamannya. “Sedangkan sisanya, masih masa perawatan. Paling 1-1,5 bulan lagi panen,” ungkapnya.

Sementara terkait dengan tengkulak, ia menyayangkan pihak legislatif tidak mengamini sarannya mengaktifkan kembali program dana pasca panen. Dijelaskannya, program yang pernah diterapkan Dispertahut era 2010-an itu cukup efektif untuk mengendalikan tengkulak.

Ketika itu, dengan kucuran dana miliaran rupiah bisa dipakai pemerintah untuk membeli komoditas dari petani jika stoknya tengah melimpah. Harga yang ditetapkan, kata Partogi, mengacu pada perhitungan harga ekonomis. “Jadi petani tidak merugi. Tapi entahlah, kok sekarang sepertinya susah untuk merealisasikan program itu [dana pasca panen],” tutupnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif