News
Selasa, 15 September 2015 - 10:15 WIB

KONTROVERSI RUU KUHP/KUHAP : KPK Minta Korupsi dan Pencucian Uang Tak Masuk RUU KUHP

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji (JIBI/Solopos/Antara)

Kontroversi RUU KUHP/KUHAP ini terkait permintaan KPK agar korupsi dan pencucian uang tak masuk dalam RUU KUHP.

Solopos.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan surat kepada pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Advertisement

KPK meminta agar tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tidak dimasukkan ke dalam RUU KUHP karena dapat membatalkan kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi.

“Pada intinya kami menyampaikan delik-delik tindak pidana korupsi [tipikor] tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP, karena integrasi tersebut akan bermakna bahwa delik tipikor bukan lagi sebagai tindak pidana khusus, tapi menjadi tindak pidana umum,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Advertisement

“Pada intinya kami menyampaikan delik-delik tindak pidana korupsi [tipikor] tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP, karena integrasi tersebut akan bermakna bahwa delik tipikor bukan lagi sebagai tindak pidana khusus, tapi menjadi tindak pidana umum,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Akibatnya, kata Indriyanto, justru akan terjadi deligitimasi wewenang KPK memeriksa kasus tipikor

“Begitu pula dengan delik-delik Tindak Pidana Pencucian Uang [TPPU] agar tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP dengan akibat yang sama terhadap KPK,” tambah Indriyanto.

Advertisement

“Andai tetap saja delik tipikor diintegrasikan kepada RUU KUHP, harus ada penegasan bahwa penegak hukum, termasuk KPK, tetap memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kasus tipikor atas delik-delik tipikor yang ada di dalam RUU KUHP maupun di luar KUHP. Tanpa masukan ini, dikhawatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus-kasus korupsi,” jelas Indriyanto.

Bila masukan itu tidak didengarkan, Indriyanto khawatir ada pelemahan KPK.

“Bila tidak [didengar], maka KPK menjadi macan tanpa taring alias macan ompong saja,” tegas Indriyanto.

Advertisement

Senada dengan Indriyanto, peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Lalola Easter juga meminta pemerintah dan DPR agar mengeluarkan delik korupsi dan delik-delik lain yang termasuk dalam tindak pidana luar biasa, dari RUU KUHP.

“Delik tipikor perlu tetap dibuat di luar RUU KUHP karena sepatutnya RUU KUHP hanya mengatur tindak-tindak pidana yang bersifat umum [generic crimes]. Jika ke depannya ada perkembangan modus atau bentuk tindak pidana korupsi, proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan, manakala delik korupsi diatur dalam RUU KUHP,” kata Lalola dalam pernyataan tertulis.

Menurut Lalola, memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP, akan menghilangkan sifat korupsi sebagi kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa.

Advertisement

“Hal ini juga berimplikasi pada kerja lembaga-lembaga independen yang kewenangannya diatur dalam UU khusus yang diatur di luar RUU KUHP,” kata dia.

Implikasi dari banyaknya delik khusus yang diatur dalam RUU KUHP, menjadikan proses hukum dan kewenangan lembaga-lembaga terkait yang diatur dalam RUU KUHAP juga mengikat bagi lembaga-lembaga independen yang kewenangannya kini diatur dalam Undang-Undang khusus seperti Badan Narkotika Nasional, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan hingga KPK.

“Mengkodifikasi seluruh peraturan pidana ke dalam RUU KUHP akan memakan waktu yang sangat lama. Selain itu, tidak mungkin mengecualikan kewenangan-kewenangan, kerja lembaga-lembaga terkait seperti BNN, PPATK, KPK dan modus tindak pidana secara lebih detil di dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP, saat pasal peralihan RUU KUHP masih mengasumsikan adanya kodifikasi dan unifikasi seluruh peraturan pidana nasional,” jelas Lalola.

Dampak selanjutnya adalah KPK hanya memiliki fungsi pencegahan korupsi karena fungsi-fungsi penindakan yang dimiliki KPK seperti penyidikan dan penuntutan, akan “dikembalikan” ke Polri dan Kejaksaan. Delik Korupsi yang “hijrah” ke RUU KUHP tidak secara otomatis membuat KPK tetap berwenang menangani perkara korupsi.

ICW pun meminta agar RUU KUHP dibahas secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan pihak-pihak terkait yang berkepentingan. Pemerintah dan DPR pun diharapkan dapat mempercepat pembahasan RUU Tipikor yang memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif