Kolom
Sabtu, 12 September 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Kecurangan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hotbonar Sinaga (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (11/9/2015), ditulis Hotbonar Sinaga. Penulis adalah Bureau Member International Social Security Association (ISSA), Geneva 2008-2012.

Solopos.com, SOLO — Sebagai keluarga pasien, kita kerap tidak mengetahui dengan pasti apakah tindakan medis yang dilakukan memang diperlukan dalam mengupayakan kesembuhan pasien.

Advertisement

Kita juga tidak bisa memastikan obat atau keperluan medis yag dikonsumsi apakah sesuai dengan yang ditagihkan kepada kita. Kita juga tidak dapat mengecek penggunaan peralatan kesehatan oleh rumah sakit apakah memang diperlukan untuk pengobatan pasien.

Ternyata kasus seperti ini dialami cukup banyak orang. Pemberi pelayanan kesehatan (PPK) seperti dokter umum, klinik/puskesmas, laboratorium, apotek dan terutama rumah sakit (sebagian), tidak sedikit yang memanfaatkan keawaman pasien maupun keluarganya.

Untuk mengatasi masalah tersebut sekaligus mengantisipasinya, kita dapat meminta bantuan keluarga atau relasi yang punya pengalaman di masa lalu atau minta pendapat ahlinya, dalam hal ini dokter untuk meminta pendapat kedua (second opinion).

Advertisement

Hambatan yang kita jumpai adalah kita tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengecek atau punya relasi yang bisa memberikan opini profesional kepada kita dan tidak memiliki potensi benturan kepentingan.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 36/2015 yang terbit pada 30 April telah ditetapkan aturan mengenai pencegahan kecurangan dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan.

Kecurangan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta jaminan kesehatan, petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, PPK, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui perbuatan curang yang melanggar ketentuan.

Saya belum yakin aturan ini sudah disosialisasikan secara luas kepada masyarakat. Sosialisasi tentu bukan hanya kepada jutaan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tapi juga mereka yang masih belum mendaftarkan diri ke BPJS sebagai peserta perorangan.

Advertisement

Sosialisasi ihwal ini juga harus menyentuh yang sudah memiliki asuransi kesehatan wajib maupun yang melakukan self-insured alias tidak memiliki polis asuransi kesehatan walaupun punya kemampuan finansial untuk membelinya.

Inti dari aturan tersebut di atas adalah larangan bagi semua pihak yang terlibat dalam JKN serta berbagai macam sanksinya yang dilakukan  peserta, petugas BPJS Kesehatan, PPK (fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun rujukan tingkat lanjutan termasuk rumah sakit), serta penyedia obat dan alat kesehatan.

Peserta dilarang memanipulasi data kepesertaan seperti penghasilan, status kepesertaan, memalsukan kondisi kesehatan, menyuap petugas PPK, bekerja sama dengan PPK untuk mengajukan klaim palsu, dan menjual obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari PPK.

Petugas BPJS dilarang bekerja sama dengan pihak mana pun untuk mengajukan klaim palsu, memanipulasi manfaat yang tidak dijamin, menahan pembayaran kepada PPK/rekanan, dan tindakan curang lainnya.

Advertisement

Perusahaan yang tidak mendaftarkan tenaga kerjanya ke BPJS dan yang sudah memotong upah tetapi tidak menyetorkannya kepada BPJS juga akan dikenai sanksi.

PPK tingkat pertama seperti poliklinik, dokter umum, puskesmas, dan lain-lain dilarang memanfaatkan dana kapitasi yang diperoleh dari BPJS/sumber lain yang tidak sesuai dengan perundangan, memanipulasi klaim, menerima komisi atas rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, menarik biaya dari peserta, merujuk pasien tidak sesuai aturan, dan lain-lain.

Berikut ini sebagian potensi tindakan curang yang mereka lakukan. Pertama, penulisan kode diagnosis yang bertarif lebih tinggi daripada yang seharusnya (up coding). Kedua, menjiplak klaim dari pasien lain yang sudah ada (cloning). [Baca: Pengecekan]

 

Advertisement

Pengecekan
Ketiga, mengajukan klaim palsu atas layanan yang tidak pernah diberikan (phantom billing). Keempat, penggelembungan tagihan obat dan alat kesehatan (inflated bills atau mark up). Kelima,  pemecahan episode pelayanan medis yang seharusnya dalam satu paket pelayanan (services unbundling).

Keenam, melakukan rujukan semu. Ketujuh, menagih lebih dari sekali. Kedelapan, memperpanjang lama perawatan padahal secara medis sang pasien sudah boleh pulang. Kesembilan, memanipulasi kelas perawatan (faktanya kelas I ditagihkan kelas VIP). Kesepuluh, membatalkan tindakan medis yang seharusnya wajib dilakukan. Kesebelas, melakukan tindakan medis yang tidak perlu.

Dari aturan yang disebutkan di atas, yang perlu kita waspadai mengingat begitu banyaknya variasi jenis kecurangan yang dipenuhi istilah asing adalah penyimpangan yang dilakukan rumah sakit.

Kecurangan yang mereka lakukan pada gilirannya akan merugikan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara JKN. Di Amerika Serikat kecurangan seperti ini telah merugikan penyelenggara asuransi kesehatan hingga miliaran dolar Amerika Serikat dalam setahun dan kasusnya ditangani Biro Penyelidik Federal atau FBI.

Mengingat potensi kerugian yang dapat dialami oleh BPJS Kesehatan  yang notabene adalah uang negara, antisipasi telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas pengawas BPJS.

Saya sebagai anggota Dewan Audit, pada tahun lalu (2014) pernah diminta oleh OJK untuk menyusun makalah singkat mengenai potensi kecurangan  terkait dengan penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS.

Advertisement

Bila kita menjadi peserta BPJS dan/atau melakukan top up dengan membeli asuransi kesehatan suka rela, permasalahan tersebut tidak perlu kita alami karena pihak BPJS dan/atau penyelenggara asuransi kesehatan akan membantu kita melakukan pengecekan.

Inilah salah satu manfaat bagi kita ikut JKN pada BPJS atau pun membeli asuransi kesehatan dari perusahaan asuransi yang sesuai dengan pemeo ”serahkan segala sesuatu kepada ahlinya”.

Kita tidak paham berbagai tindakan medis termasuk istilah medis pada saat kita atau keluarga kita memerlukan perawatan kesehatan. Serahkan saja penanganannya kepada BPJS/penyelenggara asuransi kesehatan (health insurance provider).

Dengan mengikuti program tersebut, selain mentransfer risiko finansial karena sakit, kita juga mentransfer risiko dicurangi oleh PPK/rumah sakit. Dengan memahami berbagai potensi kecurangan yang dilakukan PPK, kita makin sadar bahwa diperlukan pihak yang spesialis menangani perawatan kesehatan kita.

Bila manfaat nonmedis tidak sesuai dengan standar kita, beli saja asuransi kesehatan dari begitu banyak perusahaan asuransi yang menjual produk asuransi kesehatan untuk men-top up manfaat nonmedis sesuai dengan yang kita inginkan.

Salah satu upaya antisipasi kecurangan oleh pihak rumah sakit, sebagai anggota Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), saya pernah mengusulkan agar disusun pedoman tata kelola rumah sakit yang baik (good hospital governance) bekerja sama dengan asosiasi profesi terkait dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi). (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Kata Kunci : Gagasan Gagasan Solopos
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif