Jogja
Selasa, 8 September 2015 - 00:20 WIB

KEISTIMEWAAN DIY : Pembangunan Hotel & Pasar Modern Tak Salahi Aturan

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Parkir di Jalan Malioboro (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Keistimewaan DIY mengenai bangunan komersil berada ditempat yang tepat.

Harianjogja.com, JOGJA-Staf Bidang Sarana dan Prasarana Bappeda DIY, Muhammad Zulhanif, menanggapi kritikan masyarakat atas pembangunan DIY yang lebih bebasis pada bisnis semata karena banyaknya hotel dan pasar modern. Menurut dia, pembangunan itu tidak ada yang menyalahi, karena sebagian besar kawasan pinggir jalan merupakan kawasan barang dan jasa (bisnis).

Advertisement

Zulhanif menambahkan, rencana tata ruang DIY selama lima tahun ke depan belum dapat ditentukan karena masih menunggu Perdais Tata Ruang, dan kajian ulang terhadap Perda Tata Ruang yang masih dalam proses. Menurutnya, Perda Tata Ruang yang berlaku hingga 2029 bisa ditinjau lima tahunan.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DIY, Zuhrif Hudaya mengatakan pihaknya tidak bisa memastikan kapan Raperdais Tata Ruang dibahas. Menurutnya, sebelum membahas Raperdais Tata Ruang, harus diselesaikan dahulu Raperdais tentang Pertanahan.

“Bagaimana mau menata dan mengatur suatu wilayah jika status tanahnya belum jelas?” kata Zuhrif. Ia mengatakan pembahasan Raperdais Tata Ruang dan Raperdais Pertanahan tergantung kesiapan dari eksekutif. Sebab sampai saat ini draf Raperdais Pertanahan belum dilengkapi Pemerintah DIY.

Sementara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jogja Edy Muhammad menyebutkan aturan yang dijadikan dasar pengembangan wilayah meliputi Perda No.2/2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2010 sampai 2029 dan Perda No.1/2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK).

Advertisement

“Di dalam Perda RTRW sudah tertuang pengembangan struktur ruang kota, misal kecamatan tertentu lebih diarahkan ke wilayah kawasan budaya,” ujarnya.

Sementara, Perda RDTRK mengatur pemanfaaatan ruang dan intensitas ruang secara detail, seperti, mengatur kawasan, ketinggian bangunan, mengatur intensitas persentase persil yang boleh dibangun, dan sebagainya.

Terkait aspek sejarah dan budaya, kata Edy, kajiannya sudah dilakukan oleh akademisi sebelum aturan disahkan. “Kajian itu mempertimbangkan sejarah terbentuk dan berkembangnya kota,” Menurutnya penentuan karakteristik kawasan mengikuti kondisi masyarakat dan potensi serta arah pembangunan ke depan.

Advertisement

Ia mencontohkan, Kecamatan Danurejan dan Gedongtengen menjadi pusat perdagangan Jogja karena hal itu sudah berlaku sejak zaman dulu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif