Kolom
Senin, 7 September 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Penghapusan Pajak Perbukuan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abdul Hofir (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (1/9/2015), ditulis Abdul Hofir. Penulis adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Solopos.com, SOLO — Akhir-akhir ini bergulir petisi online mendukung penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) buku dan pajak penghasilan (PPh) royalti. Ini bermula dari surat terbuka Yeni Mulati alias Afifah Afra (selanjutnya saya sebut Yeni), seorang penulis yang aktif di Forum Lingkar Pena, kepada Menteri Keuangan.

Advertisement

Surat terbuka itu berkaitan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan No. 158/PMK.010/2015 tanggal 12 Agustus 2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai PPN.

Yeni berpendapat ketika jasa kesenian dan hiburan tidak dikenai PPN, mengapa buku sebagai sumber ilmu dan pendidikan justru dikenai PPN? Surat tersebut berbuah petisi di http://www.change.org yang hingga saat tulisan ini dibuat sudah didukung lebih dari 2.000 pendukung.

Surat terbuka tersebut muncul dilatarbelakangi keresahan Yeni selaku penulis yang merasa terbebani pemotongan PPh atas royalti penulisan buku yang diperoleh dari penerbit. Saat buku dijual di pasaran, buku tersebut dikenai PPN sebesar 10% dari harga jual.

Advertisement

Yeni beralasan budaya membaca di kalangan masyarakat kita belum terbentuk dan daya beli masyarakat semakin rendah. Pengenaan PPN atas buku semakin memberatkan konsumen sehingga buku seolah-olah menjadi barang mewah.

Di samping itu, pengenaan PPh atas royalti juga membebani penulis mengingat pekerjaan menulis bukanlah pekerjaan yang ringan. Perlu pengorbanan waktu siang malam, penelitian/survei, dan sebagainya.

Tulisan ini mencoba mengulas mengenai aspek perpajakan apa yang relevan dengan dunia penerbitan (buku) serta hubungannya dengan PMK 158/PMK.010/2015. Bagaimana sebaiknya sikap pemerintah menghadapi masukan masyarakat yang meminta penghapusan PPN buku dan PPh royalti?

Sebelum itu, ada beberapa konsep dasar yang perlu kita pahami bersama. Pertama, dari sisi yang memungut, pajak yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi dua: pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat terdiri atas PPh, PPN, pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBM), dan pajak bumi dan bangunan atau PBB (selain PBB perdesaan dan perkotaan).

Advertisement

Pajak daerah terdiri atas pajak provinsi seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak rokok; serta pajak kabupaten/kota seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, PBB perdesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

PPN merupakan pajak pusat yang ketentuannya diatur dalam UU No. 8/1983 tentang PPN dan PPnBM yang diubah terakhir dengan UU No. 42/2009 (dapat disebut juga sebagai UU PPN 1984).

Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984 mengatur 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN, di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keagamaan, jasa pendidikan, dan jasa kesenian dan hiburan. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui jasa kesenian dan hiburan memang tidak dikenai PPN.

Dengan kata lain, jasa tersebut bukan objek PPN. Alasannya, jasa kesenian dan hiburan merupakan objek pajak daerah, yaitu pajak hiburan yang diatur di dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Advertisement

Kedua, PMK 158/PMK.010/2015 bukanlah ketentuan baru. PMK ini hanya mempertegas ketentuan yang berlaku sebelumnya. Pasal 1 PMK 158 menyatakan jasa tertentu dalam kelompok jasa kesenian dan hiburan termasuk dalam  jenis jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai.

Kalimat ini selaras dengan ketentuan Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984. Tidak ada maksud pemerintah untuk mendiskriminasi wajib pajak dengan memberi fasilitas PPN atas jasa kesenian dan hiburan karena masih banyak jasa-jasa lain yang juga tidak dikenai PPN.

Ketiga, terdapat barang kena pajak yang semestinya dikenai PPN tapi karena pertimbangan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN, seperti buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku agama.

Mengenai hal ini, telah terbit PMK No. 122/PMK.011/2013 tentang Buku-Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci, dan Buku-buku Pelajaran Agama yang Atas Impor dan/atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN.

Advertisement

Suatu buku dikategorikan sebagai buku pelajaran umum dan agama apabila buku tersebut merupakan buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku pelajaran pokok, penunjang, dan kepustakaan.

Selain itu, buku dikategorikan sebagai bukan buku pelajaran umum maupun buku agama, termasuk di antaranya buku hiburan, buku musik, buku roman populer, buku katalog di luar keperluan pendidikan, buku karikatur, buku komik, dan buku reproduksi lukisan.

Mungkinkah PPN atas buku secara keseluruhan dibebaskan? Dalam soal PPN berlaku kaidah: semua barang dan jasa dipungut PPN kecuali undang-undang menyebutkan lain, misalnya UU PPN 1984 menyebutkan jenis-jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Barang-barang itu seperti barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, dan sebagainya), serta barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (minyak mentah, gas bumi, batubara sebelum diproses menjadi briket batubara dan sebagainya).

Selain itu, beberapa barang kena pajak mendapatkan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan seperti buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku agama. [Baca: Mutu Pendidikan]

 

Advertisement

Mutu Pendidikan
Tujuan pemberian fasilitas adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat.

Jika pengenaan PPN atas buku selain buku pelajaran umum dan buku agama dianggap memberatkan, PMK No. 122/PMK.011/2013 memberikan solusi agar buku-buku tersebut disahkan sebagai buku pelajaran umum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh menteri dimaksud.

Pembebasan atau penghapusan PPN atas buku secara keseluruhan sulit dilakukan karena selain buku adalah barang kena pajak menurut UU PPN 1984, penerimaan pajak dari PPN menempati porsi yang strategis dalam anggaran pendapatan dna belanja Negara (APBN). Pemerintah berkepentingan mengamankan penerimaan pajak dari sektor ini.

Bagaimana dengan PPh royalti? Dalam konteks penerbitan buku, royalti bermakna uang jasa yang dibayar oleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan.

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h UU No.  7/1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36/2008 (selanjutnya disebut UU PPh 1984) memberikan contoh royalti sebagai imbalan atas penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial, atau hak serupa lainnya.

Oleh karena dimensi royalti yang luas dan beragam, pembebasan PPh atas royalti penulis sebagaimana dimaksud dalam petisi pada permulaan tulisan ini akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena tidak adanya equal treatment dengan jenis royalti lainnya.

Bagaimana mekanisme pembayaran PPh royalti? Pajak di Indonesia menganut sistem self assessment yang mengandung arti wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

Terdapat dua cara pembayaran PPh yaitu menyetor sendiri dan melalui pemotongan oleh pihak lain. Royalti merupakan objek PPh yang pembayarannya dilakukan melalui cara kedua, yaitu pihak yang membayarkan royalti (perusahaan penerbit) memotong PPh atas royalti yang diterima penulis.

Royalti merupakan beban perusahaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan di sisi lain merupakan penghasilan penulis sehingga PPh atas royalti sebenarnya bukan merupakan beban perusahaan penerbit, melainkan pembayaran pajak di muka yang dapat dikreditkan dari pajak penulis yang bersangkutan pada akhir tahun saat melaporkan seluruh penghasilannya dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh.

Perusahaan penerbit pada akhir tahun pajak juga melaporkan kepada kantor pajak berapa penghasilan neto (laba) yang diperoleh. Atas laba tersebut dikenakan PPh sebesar 25%. Ketentuan ini tidak berlaku apabila perusahaan penerbit memilih menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam PP No. 46/2013.

Berdasarkan PP ini, perusahaan dapat membayar kewajiban pajaknya sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet) tanpa memperhitungkan berapa biaya yang dikeluarkan. Kita harus memahami benar bahwa antara pribadi penulis yang memperoleh royalti dan perusahaan penerbit adalah dua entitas yang berbeda.

Kewajiban perpajakannya pun berbeda. Keberatan Yeni yang saya kutip di awal tulisan ini tampaknya disebabkan kerancuan pemahaman mengenai pemisahan entitas perusahaan dan pribadi sehingga timbul kesan bahwa atas buku yang terbit dari perusahaan penerbitan dikenai pajak berkali-kali, yaitu PPh 1% dari peredaran bruto, PPh atas royalti, dan PPN 10%.

Ketiganya tidaklah sama. PPh 1% dari peredaran bruto (omzet) atau 25% dari penghasilan neto (laba) dikenakan pada level perusahaan penerbit, royalti dikenakan atas penghasilan penulis, sementara PPN dikenakan atas penjualan buku kepada konsumen.

Beban PPN ada pada konsumen akhir sedangkan perusahaan penerbit atau penjual buku hanya membantu pemerintah memungut pajak atas buku tersebut. Demikian, semoga dapat dipahami. (Tulisan ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili institusi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif