Kolom
Minggu, 6 September 2015 - 08:30 WIB

GAGASAN : Ongkos Politik Menuju Jabatan Kepala Daerah

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (5/9/2015), ditulis Thontowi Jauhari. Penulis adalah pengacara dan dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Saat ini penulis tinggal di Boyolali, Jawa Tengah.

Solopos.com, SOLO — Ongkos politik  menjadi kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember mendatang masih tetap mahal, meskipun undang—undang (UU) membatasi dana kampanye dan sebagian kebutuhan kampanye –seperti iklan di media massa dan pemasangan alat peraga kampanye—difasilitasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Advertisement

Di Jawa Tengah, Ketua KPU Jawa Tengah, Joko Purnomo, mengatakan 21 KPU kabupaten/kota telah mengeluarkan surat berisi ketentuan pembatasan dana kampanye. Kabupaten Grobogan mendapat batasan dana kampanye paling banyak, yakni Rp 20,56 miliar; disusul Kabupaten Klaten Rp 17,94 miliar, dan Kota Semarang Rp 16,68 miliar.

Pembatasan dana kampanye paling sedikit di Kabupaten Pekalongan (Rp3,5 miliar) dan Kota Pekalongan (Rp4 miliar). Pasal 74 ayat (9) UU No. 8/2015 tentang Pilkada menyatakan  pembatasan dana kampanye pemilihan [pilkada] ditetapkan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya daerah.

Advertisement

Pembatasan dana kampanye paling sedikit di Kabupaten Pekalongan (Rp3,5 miliar) dan Kota Pekalongan (Rp4 miliar). Pasal 74 ayat (9) UU No. 8/2015 tentang Pilkada menyatakan  pembatasan dana kampanye pemilihan [pilkada] ditetapkan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya daerah.

Atas perintah UU tersebut, terbitlah Peraturan KPU (PKPU) No. 8/2015 yang mengatur tentang dana kampanye. Pasal 12 ayat (3) PKPU itu menyatakan dalam menetapkan pembatasan pengeluaran dana kampanye, KPU provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP kabupaten/kota berkoordinasi dengan partai politik atau gabungan partai politik atau petugas yang ditunjuk pasangan calon [kepala daerah dan wakil kepala daerah] untuk mendapatkan masukan.

Faktual ongkos politik meraih jabatan kepala daerah tidak hanya berupa dana kampanye. Dana yang disiapkan oleh pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sebagai ongkos politik pasti lebih mahal dan melebihi batasan yang ditetapkan KPU.

Advertisement

Untuk memperoleh rekomendasi dari partai politik pengusung, pasangan calon harus mengeluarkan uang. Seorang elite partai  politik mengatakan kepada saya jika pasangan calon mempunyai rekam jejak yang baik, mempunyai elektabilitas dan aksesibilitas tinggi, atau kader sendiri, bisa jadi rekomendasi gratis.

Jika pasangan calon berada di luar kriteria tersebut harus setor ”mahar”. Ini  menjadi syarat mutlak. UU No. 8/2015 memang melarang ”mahar” tersebut. Pasal 47 ayat (1) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.

Partai politik pelanggar larangan tersebut  memperoleh sanksi (ayat 2) dan  penetapan calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil wali kota dibatalkan (ayat 5).

Advertisement

Faktanya, larangan tersebut tidak efektif. UU tidak mengatur pemidanaannya. Partai politik tetap memasang tarif untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Kedua, ongkos politik untuk membeli suara rakyat atau sering disebut politik uang.  Praktik politik uang dalam kontestatsi politik di negeri ini telah membudaya. Dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif 2014, praktik politik uang terjadi sedemikian masif.

Banyak pengamat menyebutnya sebagai pemilu brutal.  Pemilu identik dengan ”pasar suara”.  Siapa yang mampu membeli suara dengan harga mahal akan dipilih. Menggunakan kekuatan uang menjadi keniscayaan jika ingin memenangi kontestasi.

Advertisement

UU No. 1/2015 yang diubah UU No. 8/2015 tentang Pilkada tidak mengategorikan politik uang sebagai tindak pidana. Pasal 73 ayat (1) UU itu menyatakan calon (kepala daerah dan wakil kepada daerah] dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. [Baca: Implikasi]

 

Implikasi
Ayat berikutnya (2) menyatakan calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Larangan politik uang tersebut tidak disertai sanksi pidana. Pasal tersebut hanya berkekuatan imbauan moral. Siapa yang harus membiayai ongkos politik yang mahal  itu? Pertama, dibiayai sendiri oleh pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Syarat perekrutan calon kepala daerah di partai-partai politik meniscayakan kesiapan dana sebagai hal yang dipertanyakan.

Kedua, pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah menyiapkan “cukong politik” dengan kompensasi proyek setelah terpilih. Biaya mahal untuk menjadi kepala daerah tersebut tentu berimplikasi pada kinerja kepala daerah terpilih.

Dibiayai sendiri oleh pasangan calon atau oleh cukong tentu menicayakan  berpikir ”pengembalian” dan “keuntungan” atas “modal” yang telah “diinvestasikan”. Pengembalian atas “modal” itu tidak akan pernah terjadi jika tanpa korupsi,  apalagi “keuntungan”.

Gaji kepala daerah hanya sekitar Rp6 juta tiap bulan. Seorang mantan kepala daerah pernah mengatakan kepada saya, di samping gaji seorang kepala daerah juga menerima pendapatan sah berupa honor-honor. Jika ditotal, tiap bulan pendapatan sah seorang kepala daerah tidak lebih dari Rp50 juta.

Selama menjabat,  kepala daerah menerima pendapatan sah Rp3 miliar. Praktik demokrasi kita tampaknya masih jadi lahan subur persemaian perilaku korup. Rencana korupsi terjadi sebelum pilkada dan selalu dipikir pelaksanaannya ketika menjabat. Jangan heran, jika dalam lima tahun ke depan banyak kepala daerah produk pilkada serentak akan masuk bui karena korupsi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif