Kolom
Rabu, 2 September 2015 - 08:30 WIB

GAGASAN : Presiden dan Televisi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fathorrahman Hasbul (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (31/8/2015), ditulis Fathorrahman Hasbul. Penulis adalah analis media dan peneliti di Sinergi Visi Utama  Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Beberapa hari ini lalu fakta menarik yang diperlihatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk kali kedua, dalam waktu yang berdekatan, Presiden Jokowi mengkritik materi siaran televisi nasional.

Advertisement

Kritik itu disampikan di hadapan berbagai pemangku kepentingan dan lembaga negara terkait. Presiden cukup memahami secara jernih bahwa sesungguhnya pilar keempat demokrasi adalah media massa, terutama  televisi.

Televisi menjadi fondasi demokrasi melalui peran menyampaikan hak-hak dasar masyarakat serta menggiring opini, isu, bahkan agitasi secara masif. Fungsi strategis inilah yang kemudian mengilhami Presiden Jokowi ikut bicara seputar dinamika media dan segala problem di sekitarnya.

Ketika nilai tukar dolar Amerika Serikat melambung, kian tinggi, disertai krisis ekonomi yang tanpa dikompromi, media televisi mendapat perhatian Presiden Jokowi. Ini sekaligus mengabarkan media televise memang tidak bisa diabaikan.

Advertisement

Mungkin Presiden Jokowi mulai ”lelah”. Kritik terhadap televise bisa jadi bagian dari usaha meretas persolan-persoalan yang belum tuntas. Setidaknya tampak semacam kegelisahan dalam setiap bahasa simbolis Presiden Jokowi yang seakan-akan menempatkan isu media satu tangga di bawah isu disparitas dan problem ekonomi.

Apa yang digelisahkan Presiden Jokowi sesungguhnya sejalan dengan  apa yang dikemukakan Bruce A. Williams dalam bukunya After Broadcast News, Media Regimes, Democracy, and The New Information Environment. Dalam alam demokrasi selalu muncul arus rezim media, terutama televisi.

Penggunaan istilah rezim pada dataran praktis menandai suatu tingkat kondisi tertentu ketika kuasa media televisi benar-benar unjuk gigi. Negara dan publik nyaris tenggelam oleh kepungan layar kaca.

Televisi menelan berbagai narasi besar tentang kuasa negara dan masyarakat.

Advertisement

Pada titik ini secara de facto terjadi proses pelemahaman kekuasaan negara dan tersingkirnya kontrol publik. Itulah mengapa kemudian Presiden Jokowi pada titik tertentu harus ”turun gunung” untuk menaklukkan penetrasi media televisi yang kadang di luar batas kewajaran.

Dalam kajian komunikasi, sikap Presiden Jokowi setidaknya dapat dibaca pada beberapa aspek. Pertama, ia sudah melacak telah terjadi proses pergeseran paradigma dalam lalu lintas pertumbuhan media di Indonesia.

Hubungan antara publik dan televisi bukan didasarkan pada proses kontrol tetapi seoalah-seolah seperti gejala gatekeeping yang salah jalan. Kerja media televisi tidak semata-mata dipahami sebagai kerja profesional yang mengetengahkan kebenaran konstruktif, tetapi telah menjadi bagian dari praktik kelas. [Baca: Representasi]

 

Advertisement

Representasi
Kelas media adalah kelas dominan. Relasi subversif antara publik dan media adalah kondisi yang tidak seimbang sehingga ada daya ”tindih” dalam penetrasi kuasa televisi itu sendiri.

Kedua, sikap Presiden Jokowi merupakan representasi dari aspirasi publik tentang ideologi media yang mulai bergeser. Faktor ekonomi media kemudian didukung dengan faktor politik pemilik media  merupakan pemicu lahirnya praktik-praktik penyimpangan media

Meminjam istilah Paul Jhonson (1998), penyimpangan atas dasar ekonomi dan raibnya ideologi pada titik klimaksnya wajah televisi penuh dengan distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, dan penyalahgunaan kekuasaan secara halus, lembut, dan subtil.

Perlahan tapi pasti televisi menjadi mesin tunggal pencipta berbagai realitas yang semu bahkan kadangkala menipu. Inilah kemudian yang pada konteks lebih universal dianggap sesuatu yang berbahaya oleh Presiden Jokowi.

Advertisement

Ketiga, kritik tersebut akan menjadi bagian dari autokritik untuk melahirkan formulasi regulasi baru tentang dunia penyiaran. Hari ini upaya revisi masih berjalan terseok-seok. Setidaknya antara Komenterian Komunikasi dan Informatika dan Komisi Penyiaran Indonesia dalam berbagai momentum belum terlihat ”bergandengan tangan”, khususnya dalam konteks menciptakan dunia penyiaran yang bermartabat.

Pernyataan Presiden Jokowi akan menjadi penanda penting bagi lahirnya cara kerja baru dalam regulasi penyiaran dengan cepat dan tepat sehingga ekspektasi publik terhadap dunia penyiran benar-benar mendapatkan tempat yangterhormat.

Apa yang menjadi kegelisahan Presiden Jokowi merupakan kegelisahan kita bersama tentang gelombang dunia penyiaran nasional yang sumbang. Di Indonesia industri penyiaran merupakan salah satu industri strategis.

Industri penyiatan memiliki legitimasi terkait dengan fungsi kultural, sosial, ekonomi, politik, yang sekaligus juga dapat berfungsi secara bersamaan. Ini terjadi karena demokrasi media televisi muncul secara bersamaan dengan munculnya demokrasi politik yang belum jelas arah dan tujuannya.

Dalam situasi tersebut publik seakan-akan merasa seperti berada dalam suasana demokratis dan masuk pada rawa belukar informasi dan hiburan. Sesungguhnya kebebasan dan ketebukaan media tidak memberikan peningkatan kualitas apa pun kecuali anarkisme dan banalitas sosial.

Media penyiaran gemar mengekspresikan pesan-pesan dengan cara eksegerasi (membesar-besarkan) suatu peristiwa tertentu. Dalam konteks inilah kebebasan media yang diperoleh saat ini (freedom from) bukanlah hal yang penting dibandingkan kebebasan publik untuk memperoleh informasi melalui media penyiaran.

Advertisement

Untuk menjamin media benar-benar menyajikan informasi yang benar dan beragam serta menjamin publik memperoleh informasi yang mereka butuhkan, lagi-lagi demokratisasi media dapat diukur dari terselenggaranya diversity of ownership dan diversity of contens.

Melalui jalan inilah praksis fungsi media sebagai salah satu corong demokrasi benar-benar menjadi titik tolak bagi hadirnya informasi yang mendidik dan mencerahkan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif