Jogja
Rabu, 2 September 2015 - 13:20 WIB

DAMPAK PELEMAHAN RUPIAH : Gelombang PHK Akhirnya Terjadi di DIY, Apa Solusinya?

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dampak pelemahan rupiah akhirnya membuat gelombang PHK terjadi di DIY

Harianjogja.com, JOGJA- Ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di DIY terbukti terjadi. Sebanyak 148 karyawan di lini usaha pemintalan (spinning) di PT Primissima (persero) di Sleman, terpaksa dirumahkan.

Advertisement

Langkah tersebut dilakukan perusahaan lantaran tidak mampu lagi membeli bahan baku kapas dari luar negeri. PHK yang dilakukan perusahaan untuk menekan cost operational khususnya di lini usaha pemintalan (spinning) perusahaan tersebut, sejak awal diutarakan Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY Iwan Susanto.

“Iya betul, itu [PT Primissima] yang saya maksud kemarin. Saya malah belum tahu ada demo [karyawan], tetapi yang saya tahu memang mereka [melakukan PHK],” katanya saat dihubungi Harian Jogja, Senin (1/9/2015).

Advertisement

“Iya betul, itu [PT Primissima] yang saya maksud kemarin. Saya malah belum tahu ada demo [karyawan], tetapi yang saya tahu memang mereka [melakukan PHK],” katanya saat dihubungi Harian Jogja, Senin (1/9/2015).

Sebelumnya, Iwan menjelaskan, pelemahan rupiah berdampak pada kenaikan harga bahan baku impor  lebih dari 10%. Di DIY sendiri, setidaknya terdapat tiga industri pemintalan ?berkategori besar yang menggunakan bahan baku utama kapas yang diimpor.

Akibat kenaikan nilai mata uang Dolar, perusahaan menanggung kerugian yang cukup besar. “Kami masih akan mengumpulkan anggota untuk membahas masalah ini,” ujarnya.

Advertisement

Sebab, pelemahan daya beli masyarakat sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi sumber dari persoalan ini. Meski begitu, Buntoro mengakui, jika beban operasional perusahaan bukan satu-satunya persoalan yang perlu diperhatikan. Karena, masalah struktural dalam perusahaan turut membebani perusahaan.

Dia mengakui, kondisi ekonomi seperti saat ini ?memang cukup berat bagi pengusaha.  “Jadi, pengusaha juga harus memperhitungkan masalah ekonomi yang terjadi. Mungkin karena pengusaha kurang mengikuti perkembangan, teknologi atau kurang berpengalaman menghadapi situasi seperti ini, akhirnya mereka memilih opsi PHK,” ujar Buntoro.

Di sisi lain, para pekerja juga diharapkan mampu memahami situasi ekonomi yang berkembang. Dalam konteks saat ini, dibutuhkan komunikasi dua arah agar tidak merugikan kedua belah pihak, pengusaha dan pekerja.

Advertisement

“Harus ada komunikasi dua arah, keduanya harus bisa saling memahami. Saya rasa di DIY, antara pekerja dan pemberi kerja terjalin komunikasi yang baik. Itu yang perlu dikedepankan,” usul Buntoro.

Pelaksana Tugas Harian (Plh) Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Sulistyo berharap, masing-masing pihak mengutamakan win-win solution untuk mengatasi persoalan tersebut.

Posisi pemerintah hanya menjadi mediator agar kedua belah pihak, pengusaha dan pekerja, sama-sama berjalan sesuai koridor hukum. Satu sisi, hak-hak buruh untuk mendapat kesejahteraan harus dijaga namun disisi lain perushaan juga harus tetap beroperasi.

Advertisement

“PHK itu pilihan terakhir. Kalau tidak mendesak, jangan melakukan PHK. PHK hanya menimbulkan suasana rumah tangga jadi terganggu. Perusahaan harus mengambil jalan tengah dan jangan mengambil keputusan sepihak” kata Sulistyo, Selasa (1/9/2015).

Bagaimana mengatasi masalah tersebut. Dia mengatakan, masalah PHK yang terjadi dalam situasi ekonomi seperti saat ini cukup rumit. Jika ada regulasi yang mengatur perusahaan dapat merumahkan karyawannya kemudian mempekerjakan kembali saat kondisi ekonomi stabil, mungkin hal itu bisa menjadi jalan tengah.

“Tapi saya akan pelajari dulu regulasinya seperti apa? Yang jelas, perusahaan jangan hanya main putus kerja,” tegasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif