Jogja
Rabu, 2 September 2015 - 18:20 WIB

DAMPAK PELEMAHAN RUPIAH : Dolar Menguat, tapi Kerajinan Kulonprogo Masih Dihargai Murah

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Produksi Souvenir Kipas (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Dampak pelemahan rupiah mestinya membuat harga barang yang diekspor meningkat, namun itu tidak terjadi pada kerajinan asal Kulonprogo

Harianjogja.com, KULONPROGO – Perajin serat alam dan kerajinan tas di Kulonprogo menjerit akibat naiknya kurs mata uang dolar Amerika Serikat. Selain bahan baku yang masih bergantung impor, kontrak jual beli produk dengan buyer tidak bisa merevisi harga.

Advertisement

Suyanti, salah satu perajin serat alam dari Desa Donomulyo, Nanggulan, mengungkapkan, akibat naiknya nilai mata uang dolar, harga bahan baku juga ikut mahal. Dia mengungkapkan, adanya permainan pasar membuat dirinya kewalahan mencari bahan baku untuk kerajinan yang dikelolanya.

“Dolar naik seperti ini, usaha ini juga rugi. Karena meski dolarnya naik, tapi harga jual tetap,” ujar Suyanti ditemui, Selasa (1/9/2015).

Suyanti mengatakan, perajin sepertinya telah menyepakati harga dengan buyer yang akan mengekspor produk kerajinan serat alam. Dia menambahkan, karena sudah kontrak, maka harga jual produk tidak dapat direvisi. Padahal, dalam kondisi seperti ini, perajin harus menghadapi kenaikan harga bahan baku yang ikut naik.

Advertisement

“Saya menggunakan bahan baku enceng gondok. Kebanyakan diambil dari luar Kulonprogo, dari sana harganya sudah mulai ikut naik. Andaikata punya modal Rp6 juta bisa beli bahan sampai satu ton, sekarang hanya bisa dapat kurang dari satu ton,” papar Suyanti.

Suyanti menambahkan, bahan baku kerajinan dari enceng gondok sebelumnya hanya Rp4.000 per kilogram. Namun, kini akibat dolar naik dan kebutuhan pasar semakin meningkat, harga enceng gondok naik menjadi Rp6.000 per kilogram.

Akibatnya, dirinya hanya bisa menerima untung yang tidak seberapa dengan penjualan produk kerajinan yang diekspor ke negara seperti Jerman dan Tiongkok. Meski begitu, saat ini pesanan barang justru semakin banyak. Namun, dengan kontrak lama, perajin tetap merugi karena harga produk masih menggunakan harga lama.

Advertisement

“Untuk sekarang, bisanya menyiasati dengan mencari bahan baku yang harganya jauh lebih murah. Harus survey, mencari di mana saja, asal bisa dapat bahan baku dengan harga yang lebih miring,” jelas Suyanti.

Sementara itu, Ratri Candrasari, salah satu perajin tas vinyl juga mengaku, kenaikan kurs dolar juga memengaruhi produksi tas rajut. Pasalnya, bahan baku kerajinan asal Salamrejo, Sentolo itu masih bergantung pada bahan baku impor. Ratri menjelaskan, bahan baku utama kerajinan ini adalah benang vinyl yang masih harus didatangkan dari Tiongkok. Harga benang tersebut per kilogram sebelumnya Rp74.000, kini naik menjadi Rp78.000.

“Kalau dari omzet belum berpengaruh, tetapi dampak kenaikan dolar lebih memengaruhi profit usaha yang dijalankan UMKM kami,” imbuh Ratri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif