Kolom Jogja
Senin, 31 Agustus 2015 - 00:20 WIB

ANGKRINGAN PAKDHE HARJO : Gara-gara Tempe...

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kunjungan panitia FKY (JIBI/Harian jogja/Desi Suryanto)

Angkringan Pakdhe Harjo kali ini ditulis Pemimpin Redaksi Harian Jogja, Anton Wahyu Prihartono

Harianjogja.com, JOGJA-Tidak seperti biasanya, sesepuh kampung, Pak Dhe Harjo sudah duduk manis di kursi angkringan dan tidak biasanya pula menu angkringan milik Lik Jon sudah nyaris sold out. Padahal, waktu belum menunjukkan pukul sembilan malam. Wajah sang owner angkringan pun tampak sumringah. Maklum, paling lama sejam kemudian barang dagangannya pasti tak tersisa.

Advertisement

Namun, wajah Pak Dhe Harjo terlihat serius. Sesekali dia nyruput kopi hitam sedikit pahit yang ada di depannya. Padahal, pensiunan guru tersebut selalu meminta dibuatkan teh krampul. Jadah yang masih tersisa beberapa gelintir pun tak diliriknya. Begitu juga tempe bacem yang selalu menjadi partner saat Pak Dhe Harjo menyantap jadah di angkringan.

Namun tak lama kemudian beberapa iris kedua nyamikan tersebut sudah diserobot tangan hitam nan kekar. “Bakarke Jon,” ujar laki-laki bernama Karyo sembari memesan kopi hitam sedikit pahit.

Advertisement

Namun tak lama kemudian beberapa iris kedua nyamikan tersebut sudah diserobot tangan hitam nan kekar. “Bakarke Jon,” ujar laki-laki bernama Karyo sembari memesan kopi hitam sedikit pahit.

“Siap bro,” jawab Lik Jon kepada sahabatnya. Tak lama kemudian jadah dan tempe bacem yang baru saja dipanaskan di atas perapian pun tersaji di depan Karyo. Begitu pula dengan kopi hitam sedikit pahit yang masih kemebul. Semuanya disajikan dengan cepat. Namun, kedua makanan itu juga dilahap dengan cepat pula.
“Tempenya kok susut ta Jon. Cilik-cilik, tidak seperti biasanya,” keluh Karyo
Mendapat keluhan dari pelanggan setianya, Lik Jon pun hanya nyengenges. “Maklum Mas, tempenya kena imbas dollar. Jadi ya harus sedikit menyesuaikan,” jawab Lik Jon diplomatis.
“Alah-alah…Semua kena pengaruh dollar. Rupiah jadi loyo. Tidak tempe, tidak barang elektronik, tidak bahan bangunan, semuanya kena pengaruh dollar. Iki kepiye ta?” keluh Karyo.
“Ya begitulah,” sahut Pak Dhe Harjo sembari menaikkan kancing jaket agar dadanya tidak kena angin malam.
“Ya begitulah pripun Pak Dhe,” tanya Karyo penasaran.

Laki-laki tua tersebut tersenyum tipis dan selanjunya sedikit menarik napas. Pak Dhe Harjo bercerita tentang perlunya Bangsa Indonesia membangun kemandirian ekonomi. Sebab, harus diakui bahwa bangsa ini telah jauh tertinggal dengan bangsa lain. Pendapatan per kapita Indonesia terseok-seok dan tertinggal dengan negara tetangga. Pendapatan per kapita Singapura 19 kali lipat ketimbang Indonesia, sedangkan Malaysia tiga kali lipat lebih tinggi ketimbang Indonesia.

Advertisement

Dua primata di depan Pak Dhe Harjo menyimak serius. Dia percaya dengan pensiunan guru yang dikenal memiliki wawasan luas tersebut. “Terus, bangsa ini harus bagai mana Pak Dhe biar kita-kita ini tetap bisa makan tempe,” tanya Karyo penasaran.

Sebelum menjawab, Pak Dhe Harjo nyruput kopi dan menyisakan ampasnya. “Begini. Bangsa kita ini memiliki potensi yang sangat besar. Bangsa kita ini jumlah penduduknya banyak. Kalau enggak salah nomor empat atau nomor lima di dunia. Kekayaan alamnya pun melimpah. Tapi sayangnya, kekayaan alam itu belum kita kelola dengan baik untuk kemakmuran rakyat, malah pengelolaannya justru di tangan asing dengan embel-embel investasi lah atau apalah. Nah, di sini penjajahan era baru dimulai. Kita sebagai pemilik sumber daya alam hanya menikmati sedikit saja, sementara asing justru yang untung,” ungkap Pak Dhe.

Pak Dhe Harjo terus melanjutkan omongannya seperti khatib yang sedang khutbah Jumat. Dia membeberkan agar Bangsa Indonesia perlahan-lahan harus berani keluar dari ketergantungan bangsa lain. Langkah tersebut harus dibarengi dengan penataan ekonomi baik di bidang pangan, energi dan lainnya. Contohnya, Indonesia pelan tapi pasti harus bisa mengurangi impor kedelai dan pada akhirnya Indonesia nanti benar-benar tidak melakukan impor kedelai.

Advertisement

“Ini tugas berat dari Menteri Pertanian. Bagaimana lahan pertanian yang luas ini bisa diberdayakan secara maksimal untuk menanam kedelai. Begitu juga dengan padi. Kalau sedikit demi sedikit kita lakukan, kita yakin bangsa ini tidak akan impor beras atau kedelai. Sampeyan bisa makan tempe terus Mas Karyo,” ujar Pak Dhe sambil melirik ke arah bujang lapuk berusia hampir setengah abad tersebut.

“Tapi yang paling penting, masalah SDM juga harus dibenahi. Bangsa ini harus bisa membangun SDM yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Kalau SDM kita kalah, ya wassallam. Kita akan terus menjadi bangsa jongos,” ungkap Pak Dhe.
“Setuju Pak Dhe,” sahut Karyo yang membikin kaget Lik Jon.
“Bangsa Indonesia rindu dengan sosok Soekarno yang berani berteriak Indonesia Berdikari. Bangsa ini rindu sosok Mohammad Natsir yang dengan lantang menolak campur tangan kekuatan asing untuk membangun Indonesia,” ujar Karyo.
“Tepat,” jawab Pak Dhe singkat.
“Kalau fondasi ekonomi kita kuat, dan kita tidak bergantung pada asing terus, ketika ekonomi dunia sedang goyah, Indonesia tidak akan ambruk. Dollar naik, ekonomi kita tidak akan terguncang hebat. Maka dari itu kita sangat berharap agar pemerintah segera membangun kemandirian ekonomi,” harap Pak Dhe.

Obrolan serius itu terus berlanjut hingga larut malam. Rencana ingin menutup angkringan agak cepat pun berantakan gara-gara tempe.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif