Kolom
Minggu, 30 Agustus 2015 - 09:00 WIB

GAGASAN : Bahaya Laten Politik Gentong Babi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Alif Basuki (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (29/8/2015), ditulis Alif Basuki. Penulis adalah mantan Direktur Pattiro Solo dan saat ini aktif di gerakan antikorupsi.

Solopos.com, SOLO — Kalau kita melihat dokumen APBD 2015 di beberapa daerah saat ini, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, akan terlihat gejala peningkatan anggaran bantuan sosial (bansos) di daerah-daerah yang akan menggelar pilkada.

Advertisement

Kenaikan alokasi anggaran bansos di daerah-daerah tersebut bervariasi. Ada yang meningkat 50% hingga 200% bila dibandingkan alokasi anggaran bansos pada tahun-tahun sebelumnya.

Kenaikan anggaran bansos tentu berkorelasi dengan pemanfaatan dana publik menjelang pilkada di suatu daerah. Pemanfaatan dana publik ini paling mungkin dilakukan oleh kandidat kepala daerah yang berstatus petahana (masih menjabat).

Ini memang bukan hal baru. Pada pilkada sebelumnya tidak sedikit kandidat kepala daerah berstatus petahana berusaha memanfaatkan sumber daya yang ia miliki sebagai pemegang kuasa anggaran daerah untuk mendistribusikan program sosial dan kesejahteraan dalam wujud barang, uang, dan infrastruktur dalam rangka memengaruhi preferensi politik masyarakat.

Advertisement

Dengan kata lain, pemanfaatan dana publik oleh kepala daerah aktif yang maju dalam pilkada merupakan sebuah usaha untuk kembali membuka peluang dukungan politik dari pemilih.

Sejatinya pemanfaatan dana bansos menjelang pilkada oleh petahana merupakan suatu hal yang dilarang. Pasal 71 ayat (2) UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah  menjelaskan petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan pemerintahan daerah untuk kegiatan pemilihan dalam jangka waktu enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir.

Latar belakang utama pelarangan ini ialah pemanfaatan program bansos oleh petahana merupakan salah satu wujud politik uang. Saat ini sebagian besar petahana yang mencalonkan diri sudah habis masa jabatannya, namun mereka masih bisa mengendalikan birokrasi dari luar melalui tangan-tangan panjang pejabat dan birokrasi di dalam pemerintahan.

Biasanya tangan panjang itu adalah sekretaris daerah sebagai penjabat kepala daerah. Bisa pula langsung melalui kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang merupakan kuasa pengguna anggaran.

Advertisement

Tafsir pemaknaan politik uang sering kali hanya dibatasi pada istilah serangan fajar, yakni pememberian uang kepada pemilih pada pagi hari menjelang pemungutan suara dalam bentuk fresh money.

Dalam studi ilmu politik, serangan fajar atau vote buying hanya salah satu jenis dari dua jenis politik uang lainnya, yakni club goods dan pork barrel.

Club goods merupakan pemberian uang atau barang dari seorang kandidat pemimpin kepada kelompok sosial masyarakat, seperti pemberian kerudung kepada kelompok pengajian atau pemberian fasilitas olahraga kepada karang taruna.

Sedangkan pemberian dana bansos menjelang pemilihan umum/pilkada termasuk jenis politik uang pork barrel atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan politik gentong babi.

Advertisement

Secara spesifik, Scaffer (2007) dalam studinya mendefinisikan pork barrel sebagai penyaluran bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum ke kabupataen/kota, bahkan des,a dari kepala daerah.

Karakter utama dari politik gentong babi ialah adanya pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dana bansos memang bukan berasal dari kantong pribadi kandidat serta proses yang dilakukan melalui cara legal sesuai prosedur keuangan daerah.

Peningkatan anggaran untuk program kesejahteraan rakyat menjelang pilkada secara tidak langsung menempatkan dana bansos sebagai alat tukar dengan suara pemilih. Dalam proses pendistribusiannya seorang petahana melakukan klaim politik dengan maksud meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.

Caranya seolah-olah dana bansos tersebut berasal dari kantong pribadi atau sebagai sebuah capaian personal petahana, padahal sumber dana tersebut berasal dari pajak masyarakat. [Baca: Persaingan Tak Setara]

Advertisement

 

Persaingan Tak Setara
Di tengah situasi seperti ini, pemilih lebih memaknai bansos sebagai utang atas kebaikan petahana yang harus dibayar dengan cara memberikan suara pada hari pemungutan suara.

Ada pula sebagian pemilih yang beranggapan ketika petahana terpilih kembali, dirinya akan memperoleh dana bansos yang jauh lebih banyak. Dari sinilah kemudian relasi klientelisme terbangun antara petahana dengan pemilih.

Praktik politik gentong babi seperti ini tentu berdampak secara langsung terhadap proses dan kualitas pilkada serentak di Indonesia. Implikasi tersebut antara lain, pertama, kehadiran bansos menjelang pilkada merusak perilaku pemilih rasional yang lebih mempertimbangkan untung dan rugi dari aspek materi.

Sejatinya pertimbangan untung dan rugi dari perilaku pemilih rasional lebih mengarah pada aspek rekam jejak, kapabilitas, integritas, kebijakan publik yang dihasilkan semenjak awal menjabat sampai dengan akhir.

Terjadi mekanisme reward and punishment, yakni penghargaan diberikan dengan cara dipilih kembali jika seorang petahana dianggap mampu menghasilkan aspek-aspek tersebut.

Advertisement

Sedangkan hukuman diberikan dengan cara tidak dipilih kembali karena dianggap tidak mampu menghasilkan kebijakan publik yang bermanfaat bagi daerahnya.

Keputusan pemilih bukan berdasarkan program bansos yang sebetulnya tidak lebih dari rekayasa politik untuk memobilisasi suara masyarakat.

Kedua, pemanfaatan dana bansos dalam pilkada membuat proses persaingan antara kandidat menjadi tidak setara. Dengan pemanfaatan sumber daya negara, seorang kandidat kepala daerah berstatus petahana akan lebih mendominasi persaingan dibandingkan dengan kandidat lainnya.

Semangat yang dibawa dari aspek kampanye yang difasilitasi negara sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 8/2015 yakni penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, dan iklan di media massa cetak dan elektronik ialah untuk menghadirkan kesetaraan persaingan antarcalon kepala daerah dalam kampanye.

Biaya kampanye yang diafisilitasi negara bertujuan menekan tingginya biaya kampanye kandidat dan meminimalisasi praktik politik uang. Seharusnya petahana tidak perlu sibuk memikirkan beban biaya kampanye yang harus dikeluarkan.

Lebih baik seorang petahana memikirkan kritik dan masukan dari masyarakat daerahnya terhadap kepemimpinan sebelumnya yang tentu dapat dijadikan sebagai tawaran program dan kebijakan kepada pemilih.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif